Iakov Dari Rostov




Iakov

Uskup Kota Rostov Serta Sang Pertapa

 

 

Bapak Iakov (Yakov) adalah sosok yang tidak terkenal. Bahkan tidak seorang pun mengetahui ataupun mencatat tempat serta tanggal lahir Beliau. Hal ini karena Beliau bukanlah tipe sosok yang suka menonjolkan diri maupun tampil di publik.

 

Di Biara Kopyrsk yang terletak di tepi sungai Ukhtoma yaitu kira-kira 80 kilometer sebelah tenggara kota Rostov, Beliau menerima tonzur sebagai seorang Biarawan. Kemudian, kelak sebelum menjadi seorang Uskup, Beliau sempat diangkat sebagai Abbas (Kepala Biara) di Biara tersebut. Namun tidak seorang Hagiografer pun yang memiliki data kapan tepatnya hal tersebut terjadi

 

Pada tahun 1386 Bapak Iakov diangkat sebagi Uskup kota Rostov di bawah Metropolitan Pimen orang Yunani. Di masa itu adalah era dimana para Boyarin (Kaum Bangsawan Feodalisme) berkuasa dan mendominasi seluruh aspek di masyarakat baik politik, sosial, ekonomi. Bahkan Gereja pun terkadang tidak luput dari campur tangan mereka. Para Boyarin tersebut memiliki pemimpin tertinggi mereka yang disegani para Boyarin lainnya, yaitu Pangeran Demetrius, seorang Bangsawan Agung.

 

Suatu ketika para Boyarin mengadakan pertemuan di kota Rostov dipimpin oleh Pangeran Demetrius dan bersepakat menjatuhkan hukuman mati kepada seorang wanita. Tidak dikisahkan bagaimana asal mula kejadian tersebut. Mengetahui hal itu, Bapak Iakov sebagai seorang Uskup turun tangan, dengan meniru apa yang diajarkan Sang Kristus yang menyelamatkan seorang perempuan sundal (Yohanes 8:7), mempersilahkan barangsiapa pun yang tidak pernah berbuat dosa selama hidupnya maka dialah yang melempar batu pertama kali untuk menghukum wanita tersebut. Maka tidak seorang pun berani maju, maka loloslah si wanita tersebut dari maut. Segera Bapak Iakov pun mengirimkan perempuan tersebut ke sebuah tempat untuk menjalani pertobatan.

 

Pangeran dan para Bangsawan lainnya tidak puas dengan apa yang dilakukan Bapak Iakov dan merasa direndahkan. Merekapun bersekongkol untuk mendepak Sang Uskup tersebut pergi dari kota itu. Dengan kekuatan uang serta politik yang mereka miliki maka hal itu mudah sekali. Tidak lama setelah itu, oleh karena kuatnya tekanan dari pihak para bangsawan, Bapak Iakov pun memilih pergi dari Rostov. Beliau bertekad untuk mengasingkan diri di suatu tempat dan menjalani sisa hidupnya secara asketik.

 

Pada perjalanannya sampailah di Danau Nero, danau besar di selatan Rostov. Bapak Iakov pun ingin menyeberanginya untuk menemukan tempat yang sesuai baginya. Namun jangankan untuk menyewa perahu, bahkan harta satu-satunya yang Beliau bawa hanya jubahnya yang dipakainya ketika menjabat sebagai Uskup di Kota Rostov tersebut. Maka ditebarkanlah jubahnya tersebut ke danau dan Beliau membuat tanda Salib pada dirinya, lalu dinaikilah jubahnya tersebut yang sedang mengambang di air danau. Jubah tersebut tidak tenggelam, Bapak Iakov berdiri diatasnya seolah sedang berdiri di atas perahu. Tidak lama kemudian jubah itu pun bergerak menyeberangi danau tersebut layaknya sebuah perahu. Seolah ada kekuatan misterius yang menggerakkannya dan menuntunnya menyeberangi danau tersebut hingga sampai ke seberang.

 

Tersebarlah hal ini ke seluruh penjuru kota Rostov, tidak terkecuali para Boyarin yang berkuasa di kota tersebut. Maka menyesallah mereka semua dan merasa takut jikalau Bapak Iakov mengutuki mereka maka Tuhan juga akan menghukum mereka semua. Pangeran Demetrius pun didampingi para bangsawan lainnya serta sebagian warga kota mengunjungi tempat pertapaan Bapak Iakov untuk memohon maaf. Mereka pun bersepakat agar Bapak Uskup bisa kembali ke kota dan memimbing mereka kembali. Dengan kebesaran hatinya Bapak Iakov mengampuni mereka semua, namun Beliau tidak ingin lagi kembali ke kota itu. Beliau ingin mengabiskan sisa hidupnya di tempat barunya dan menjalani hidup asketik.

 

Selama sisa hidupnya Bapak Iakov sempat membangun sebuah Gereja kecil di tempat tersebut. Kelak di tempat tersebut akan berdiri Biara St. Iakov. Pada tanggal 27 November 1392 (10 Desember 1392 di penanggalan baru), Beliau pun kembali kepada Pangkuan ALLAH Bapanya.

 

Diperingati setiap Tanggal 27 November (Kalender Julian)




7 Pemuda Kudus Dari Efesus


7 Pemuda Kudus Dari Efesus

 

Pada tahun 250 Masehi pada masa pemerintahan Kaisar Decius atau Gaius Messius Quintus Traianus Decius (Masa Pemerintahan : September 249 – Juni 251), terjadi penganiayaan dahsyat atau lebih tepatnya pembantaian besar-besaran yang dibawah mandat Kaisar Decius sendiri. Bahkan pada tanggal 20 Januari 250 Paus Fabianus (Gereja Roma) menjadi Martir karena penganiayaan hebat yang dialaminya ketika di penjara. Demikian juga tercatat dalam sejarah Gereja Para Rasul, Uskup babylas (Gereja Anthiokia), serta Uskup Alexander (Gereja Yerusalem) harus mengalami nasib yang sama. Mereka diberi pilihan agar bisa bebas dari penjara dan aniaya dengan syarat mempersembahkan korban dan pedupaan untuk dewa-dewa pagan, akan tetapi para Bapak gereja tersebut menolaknya, dan mereka lebih memilih jalan kemartiran.

 

Sebelumnya pada tahun 249 Masehi Decius melakukan pemberontakan demi merebut kekusaan dari tangan Kaisar Philiphus Sang Arab (Marcus Julius Philippus 'Arabus, Februari 244 – September 249) dan membunuhnya. Kaisar Philiphus adalah seorang Kristen, sedangkan Decius adalah seorang pagan. Ketika Kaisar Decius berkuasa, dia berkehendak mengembalikan pamor agama pagan nenek moyang bangsanya di seluruh wilayah Romawi. Oleh karena itu dilakukanlah penganiayaan besar-besaran terhadap orang-orang Kristen. Tidak terkecuali dilakukan juga pembersihan orang-orang Kristen di lingkungan pejabat dan militer.

 

Tersebutlah sekelompok pemuda di lingkungan militer: Maksimilianus, Martinianus, Yamblikus, Yohanes, Dionosius, Antonius, serta Konstantinus (atau Eksakustonianus)di Efesus. Mereka bertujuh adalah anak-anak dari golongan terpandang yang sedang berkarir di lingkungan militer kekaisaran Romawi kala itu. Mereka telah bersahabat sejak masa kecil. Ketika Kaisar Decius menetapkan Kristen menjadi agama yang tidak sah, segera setelah itu dilakukan pembersihan di lingkungan pejabat maupun militer, maka tidak terkecuali ketujuh pemuda tersebut harus mundur dari jabatannya. Namun untuk menghindari gejolak politik maka orang-orang Kristen yang berasal dari orang-orang terpandang untuk sementara tidak ditangkap dan diberi kesempatan untuk berpikir ulang, berharap akan beralih memeluk agama pagan tanpa harus dipaksa dan dianiaya.

 

Situasi yang tidak kondusif dan mengancam keselamatan mendorong ketujuh sahabat itu lari menuju Gunung Ochlon / Oklonos. Di situ mereka menemukan sebuah gua dan berencana menghabiskan hidup mereka di gua tersebut sambil menunggu hari kematian mereka ketika suatu saat para tentara Romawi akan menemukan dan mengeksekusi mereka. Setiap hari di gua tersebut mereka lalui dengan doa-doa.

 

Suatu ketika disuruhnyalah yang termuda dari antara mereka yaitu Yamblikus menuju kota untuk membeli roti. Pergilah Bapak Yamblikus ke kota dengan penampilan seperti pengemis untuk menghindari orang mengenalnya. Didengarnyalah kabar bahwa mereka adalah buron dan dicari oleh Kaisar Decius. Mereka pun berunding apakah perlu menyerahkan diri atau tetap bersembunyi. Bapak Maksimilianus berpendapat untuk menyerahkan diri dan diadili, namun pada akhirnya keputusan mereka adalah tetap bertahan di gua tersebut, bahkan ketika harus dieksekusi. Di gua tersebut mereka menghabiskan waktu dengan berdoa setiap hari, sambil menunggu suatu saat para prajurit akan menemukan dan mengeksekusi mereka.

 

Namun cepat atau lambat tempat pelarian mereka pun akhirnya pasti diketahui. Kaisar pun memerintahkan gua tempat mereka ditutup dengan batu agar ketujuh disersi militer tersebut tidak bisa keluar dan mati di dalam. Dua pejabat pun diutus untuk melaksanakan perintah. Namun dua pejabat tersebut adalah penganut Kristen juga namun mereka diam-diam dan tidak berani menunjukkannya agar tidak ketahuan. Demi menghormati dan mengenang Tujuh Pemuda tersebut maka ditaruhlah plakat logam bertuliskan ketujuh nama pemuda tersebut dalam sebuah kotak tertutup diletakkan dalam gua. Tertutuplah gua itu dengan batu besar, tidak ada yang bisa dilakukan maka mereka bertujuh pun hanya bisa pasrah dan berdoa. Dan TUHAN membuat ketujuh pemuda tersebut tertidur.

 

Waktu pun berlalu, semua hal telah berubah, gua tersebut pun telah menjadi milik seorang tuan tanah. Suatu ketika pemilik tanah hendak menjadikan area tersebut sebagai peternakan sapi. Didapatinya ada sebuah gua yang tersegel batu besar, maka tuan tanah menyuruh para pekerjanya membukanya. Dan dengan heran mereka pun menemukan ada Tujuh Pemuda yang tertidur dan tidak mati serta pakaian mereka pun tidak rusak sama sekali. 

 

Saat itu juga terbangunlah ketujuh pemuda itu. Sang tuan tanah pun membiarkan mereka berada di tempat itu. Mereka lalu menyuruh yang termuda dari antara mereka yaitu Yamblikus untuk ke kota membeli roti. Ketika membayar rotinya Yamblikus membayarnya dengan koin yang beliau miliki yaitu koin yang masih bergambar Kaisar Decius. Maka ditangkaplah Yamblikus dan dibawa kepada Pemimpin Kota yang juga adalah seorang Uskup Efesus. Setelah menanyainya Sang Uskup pun tercengang kebingungan akan kisah yang diceritakan Yamblikus, lalu mereka pun bersama menuju gua tempat ketujuh pemuda tersebut.

 

Di depan gua Sang Uskup pun terperanjat dan kagum akan Kebesaran TUHAN yang sedang memberinya petunjuk tentang suatu Misteri melalui ketujuh pemuda tersebut. Tidak terasa 200 tahun berlalu, ketujuh pemuda tersebut tertidur di masa pemerintahan Kaisar Decius (Masa Pemerintahan : September 249 – Juni 251) dan bangun di masa pemerintahan Theodosius II atau Dominus Noster Flavius Theodosius Augustus (Masa Pemerintahan : January 402 - 28 Juli 450). Bapak Uskup pun menemukan kotak tertutup yang berisi plat nama mereka, lalu memanggil nama-nama mereka yang tertera dalam plakat logam tersebut. Ketujuh pemuda tersebut menjawabnya sesuai nama yang disebutkan. Maka tersiarlah kabar ini sampai ke seluruh penjuru negeri dan juga kepada Kaisar Theodosius II.

 

Melalui ketujuh pemuda tersebut TUHAN sedang memberi petunjuk kepada Gereja Para Rasul tentang Misteri Kebangkitan. Di masa itu sedang ada perdebatan teologis dimana sebagian orang tidak percaya kebangkitan orang mati jika tubuhnya hancur berkalang tanah, sebagian lagi percaya hanya jiwa saja yang bangkit. Namun peristiwa tersebut menyingkapkan bahwa kelak memang akan ada kebangkitan jasmani.

 

Setelah mendengar kabar tentang Tujuh Pemuda Efesus tersebut maka tibalah Sang Kaisar di gua itu. Bersama Sang Uskup dan dihadapan Sang Kaisar serta disaksikan orang-orang maka mereka pun menceritakan semuanya dan tentang Mujizat yang mereka alami. Setelah menceritakan semuanya, maka mereka pun kembali merebahkan tubuhnya di gua dan berkeinginan melanjutkan tidurnya, serta bangun kelak di akhir jaman.



Kirilus Dan Methodius



Kirilus Dan Methodius



Janasuci Kiril (Cyril/Kirilus) Dan Methodius
Dua Bersaudara Sang Guru Agung Pencerah Bangsa Slavia

Bapak Kiril (Kirilus) lahir sekitar tahun 826, sedangkan Bapak Methodius adalah kakak kandungnya yang lahir sekitar tahun 815. Keduanya lahir di kota Tesalonika, wilayah kekaisaran Byzantium kala itu. Bapak Kiril bernama asli Konstantinus, diberi nama Kiril atau Kirilus saat menjadi biarawan di Roma. Sedangkan Bapak Methodius bernama asli Michael, diberi nama Methodius saat menjadi biarawan di Mysan (Uludag). Mereka adalah dua dari tujuh bersaudara.

Ayahnya bernama Leo adalah seorang prajurit tentara kekaisaran Byzantium yang bertugas di wilayah administratif (themata) Tesalonika, sedang ibunya bernama Maria. Saat Bapak Kiril berusia 14 tahun, sang ayah meninggal. Saat itu mereka dalam asuhan seorang pejabat penting Kekaisaran Byzantium yang bernama Theoktistos. Keduanya pun diikutkan program pendidikan Kekaisaran di sebuah sekolah di Magnaura (sekarang adalah Istanbul) atau Pandidakterion Magnaura. Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya Bapak Kirilus menjadi seorang Presbyter dan kakaknya Methodius menjadi seorang Diakon.

Pada misi pertama Bapak Kiril dikirim ke Kekhalifahan Abbasiyah Al-Mutawakkil (Khalifah ke-10 Bani Abbasiyah, yang memerintah tahun 847-861) untuk mendiskusikan doktrin Tritunggal Maha Kudus dengan para teolog yang berbahasa Arab, sekaligus menjalin hubungan dengan Kekhalifahan tersebut.

Pada tahun 860 Kaisar Michael III (Kaisar Byzantium yang memerintah tahun 842-967) serta Photius Agung Patriark Konstantinopel meminta Bapak Kiril untuk menjalankan misi kedua. Misi tersebut adalah ekspedisi mengabarkan Injil kepada bangsa Khazar sekutu utama kekaisaran Byzantium untuk membendung berkembang pesatnya ajaran Yudaisme. Misi Beliau kali ini tidak sukses karena akhirnya bangsa Khazar menjadikan Yudaisme sebagai agama nasionalnya. Namun ada hasil yang lain yang sangat diluar dugaan. Ketika dalam perjalanan Beliau ke Negeri Khazar melewati suatu kota bernama Korsun, saat tinggal sementara untuk persiapan misionernya ke Khazar secara ajaib Tuhan menuntun mereka menemukan Relik dari Martir Agung Klemen I, Paus Roma. Saat mereka kembali dari misinya, dibawanya Relik tersebut kembali ke Konstantinopel.

Pada tahun 862 Rasthislavos (Penguasa Moravia, yang memerintah tahun 846-870) meminta Kaisar Michael III (Kaisar Byzantium yang memerintah tahun 842-967) serta Photius Agung Patriark Konstantinopel untuk mengadakan misi Penginjilan ke negerinya yaitu Moravia. Karena memang di negeri itu orang-orang sudah mulai menolak paganisme, kesempatan ini digunakan Rasthislavos untuk mengajarkan Iman Para Rasul Kristus kepada rakyatnya. Maka diutuslah dua bersaudara Kiril dan Methodius ke Moravia. Disamping itu juga karena Rasthislavos tidak mempercayai para misionaris Roma yang dibawahi keuskupan Jerman.

Pada tahun 863 kedua bersaudara tersebut mulai menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Moravia yang dikenal sebagai bahasa Slavonik kuno. Untuk menerjemahkannya kedua bersaudara tersebut menciptakan alphabet Glagolitik dan Cyrillic. Alphabet Glagolitik digunakan sangat spesifik hanya untuk naskah Gereja, sedangkan untuk penggunaan sehari-hari dipakai alphabet Cyrillic. Kedua bersaudara tersebut dibantu oleh para muridnya yaitu : Gorazd, Clement, Sava, Naum dan Angelyar. Mereka mengerjakannya sambil berdoa dan berpuasa. Semenjak diterjemahkan naskah-naskah Gereja serta buku-buku liturgi tradisi khas Konstantinopel tersebut oleh kedua bersaudara itu membuat Gereja Yuridiksi Konstantinopel lebih populer di seluruh penjuru tanah Slavia dibanding Yuridiksi Roma.

Segera setelah mereka datang dan mengajarkan Injil serta mengadakan pelayanan-pelayanan dalam bahasa Slavia maka tersebarlah kabar tentang pelayanan kedua bersaudara tersebut. Maka semenjak itu bersamaan dengan tersebarnya Injil ke seluruh penjuru tanah Slavia tersebar pula alphabet yang mereka ajarkan terutama Cyrillic, yang dipakai masyarakat luas. Makin tersiarlah tentang mereka dan para muridnya, sehingga makin populer Yuridiksi Konstantinopel di masyarakat. Segera hal inipun menimbulkan gesekan dengan Keuskupan Jerman dibawah Yuridiksi Roma.

Gesekan makin memanas dengan diangkatnya isu oleh para misionaris Roma tentang tata cara liturgi, bahwa pelayanan liturgi harus dalam bahasa Ibrani, Yunani atau Latin saja. Namun Bapak Kirilus menjawabnya dengan dua ayat yaitu :
Mazmur 117:1
Pujilah TUHAN, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa! 2 Sebab kasih-Nya hebat atas kita, dan kesetiaan TUHAN untuk selama-lamanya. Haleluya!
Matius 28:18
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
Dengan dua ayat tersebut Bapak Kirilus menegaskan bahwa Injil bisa dikabarkan dengan berbagai bahasa, serta memuliakan dan menyembah TUHAN tidak harus memakai hanya dengan tiga bahasa tersebut saja. Jawaban tersebut membuat keuskupan Jerman malu dan terpukul, serta mengadukannya ke Roma.
Pada tahun 867 Paus Nikolas I mengundang kedua bersaudara tersebut ke Roma, dengan tujuan menyelesaikan gesekan dengan keuskupan Jerman, terutama membahas tentang penggunaan bahasa Slavia dalam Liturgi Suci. Bapak Kiril dan Methodius pun memenuhi undangan tersebut dan berangkat menuju Roma, mereka juga membawa Relik dari Martir Agung Klemen I untuk dikembalikan kepada Gereja Roma.
Pada tahu 868 Kedua bersaudara tersebut baru sampai di Roma. Ketika mengetahui bahwa mereka membawa serta Relik dari Martir Agung Klemen I untuk dikembalikan kepada Gereja Roma, maka Paus Adrianus II menyambutnya dengan penuh penghormatan. Paus Adrianus II pun akhirnya mengijinkan mereka menggunakan bahasa Slavia dalam Liturgi Suci, bahkan meminta buku terjemahan Slavia mereka untuk disimpan di Gereja Roma.
Saat di Roma Bapak Kirilus menderita sakit. Tuhan memberinya hikmat bahwa hari kematiannya telah dekat. Maka Beliau memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya menjadi biarawan di kota tersebut. Saat itulah Beliau diberi nama Kiril (Cyril) setelah mendapat Skema. Lima puluh hari setelah itu Beliau meninggal dunia, hari itu tanggal 14 Februari 869.
Sang kakak yaitu Bapak Methodius dikirim oleh Paus ke Pannonia setelah ditahbiskan menjadi Uskup Agung, bersama kelima muridnya yang ditahbiskan menjadi Presbyter. Di Pannonia Beliau dan para muridnya terus melanjutkan pelayanannya dalam bahasa Slavonik, serta terus melanjutkan menuliskan buku-buku berbahasa Slavonik serta mendistribusikan ke seluruh masyarakat. Maka hal ini kembali menimbulkan gesekan dengan keuskupan Jerman yang lebih dulu melakukan misi di daerah tersebut.
Keuskupan Jerman pun mengadakan Sidang Sinode di Regensburg dengan bantuan Raja Louis II (Louis Sang Jerman, yang memerintah tahun 817-876) memanggil Bapak Methodius untuk menjawab berbagai tuduhan yang sengaja dibuat untuk mencari kesalahan Beliau. Setelah melalui perdebatan panjang maka Sidang Sinode tersebut memutuskan Bapak Methodius bersalah dan mengirim Beliau ke Swabia di Ellwangen, Jerman untuk dipenjara. Selama dua setengah tahun Beliau menderita sengsara dalam penjara.
Paus Yohanes VIII merasa empati dengan Bapak Methodius dan mengirim seorang Uskup untuk membebaskannya dan memulihkan keuskupan Beliau serta menghukum semua yang terlibat dalam persekongkolan yang membuat Beliau dipenjara. Bapak Methodius pun kembali memberitakan Injil Suci kepada bangsa Slavia. Beliau pun bahkan berhasil mempertobatkan bangsa Ceko dan Polandia. Saat itu karya dua bersaudara Bapak Kiril dan Methodius semakin tersebar dan dikenal di seluruh tanah Slavia, terutama Alkitab dan Ajaran Gereja dalam bahasa Slavonik.
Keuskupan Jerman pun tidak berputus asa mencari cara menjatuhkan keuskupan yang dipegang Bapak Methodius (keuskupan wilayah Moravia, Pannonia dan sekitarnya). Pada waktu itu muncullah isu “Filioque” di Yuridiksi Roma sebagai reaksi dan apologetika dalam menghadapi bidat
Maka dipanggillah Bapak Methodius ke Roma untuk menjelaskan ajaran Beliau yang tidak mau menggunakan kata “Filioque”. Maka Beliau menjawab : bahwa lebih mudah baginya menjelaskan Tritunggal Maha Kudus dengan tanpa menggunakan tambahan kata “Filioque”. Beliau pun memohon kepada Paus​ Yohanes VIII agar dirinya diijinkan mengajarkan Iman Para Rasul dengan murni tanpa tambahan kata “Filioque”

Seperti sang adik, Beliau juga mendapat hikmat bahwa hari kematiannya telah dekat. Maka diangkatlah salah satu murid Beliau yang bernama Gorazd menggantikannya. Pada tanggal 6 April 885 Bapak Methodius meninggal dunia. Upacara pemakaman Beliau dilaksanakan dalam tiga Bahasa yaitu : Slavonik, Yunani, dan Latin. Oleh karena karya pekerjaan pelayanan Bapak Methodius serta Bapak Kirilus, maka seluruh tanah Slavia boleh mengenal Injil.





Theodorus Jenderal Heraklea


Theodorus Jenderal Heraklea


Janasuci Theodorus Stratilatis
Sang Jenderal Martir Agung Heraklea


Bapak Theodorus berasal dari Eukaita wilayah Pontus, Asia Kecil. Semula di kota asalnya, Beliau hanyalah seorang Prajurit biasa. Pada waktu itu di kota tersebut banyak sekali kejadian orang hilang, menurut para saksi yang hidup itu adalah perbuatan seekor ular yang sangat besar. Makin lama makin sering terjadi sehingga makin meresahkan, namun karena besarnya ular tersebut maka tidak ada yang berani menangkap ataupun membunuh ular tersebut.

Ular raksasa itu pun menjadi masalah serius di wilayah Pontus, ukuran dan kecepatannya sangat luar biasa, makin lama makin banyak korban baik manusia maupun hewan ternak. Bapak Theodorus ditugaskan untuk menyelidiki dan menyelesaikan kasus ini, padahal banyak prajurit yang telah diutus dan tidak pernah kembali.

Dengan gagah berani Bapak Theodorus mengenakan perlengkapan baju zirahnya, tameng, serta pedangnya, Beliau melangkah dengan tak henti-hentinya memuja Nama Yesus. Dengan pertolongan Tuhan maka ular raksasa tersebut berhasil dibunuhnya. Tuhan mengaruniakan kemenangan atasnya dan menjaganya tetap hidup untuk bisa menjadi Saksi Kristus. Oleh karena jasanya maka Beliau diangkat menjadi Komandan dan ditugaskan ke Heraklea.

Allah mengaruniakan Bapak Theodorus karir militer yang gemilang serta pengetahuan tentang Iman Kristen yang luar biasa. Sejak dalam pimpinannya hampir seluruh Prajurit di Heraklea yang semula penganut pagan menjadi Pengikut Kristus. Karirnya pun pada puncaknya dengan jabatan sebagai Jenderal yang berkedudukan di Heraklea.

Ketika Kaisar Licinius (Gaius Valerius Licinianus Licinius Augustus, memerintah tahun 308-324) sedang bersitegang dengan Konstantinus Agung (Flavius Valerius Aurelius Constantinus Augustus, memerintah tahun 306-337), di sinilah awal kisah kemartiran Bapak Theodorus dimulai. Kaisar Konstantinus Agung adalah penguasa Kekaisaran Romawi Barat yang mana Beliau dekat dan baik dengan orang-orang Kristen. Oleh karena itulah Kaisar Licinius sang rival sangat membenci dan mencurigai orang-orang Kristen, sehingga berlaku kejam terhadap mereka.

Kaisar Licinius pun dengan berbagai cara berusaha menghapus kekristenan dari wilayah kekuasaannya. Dalam tubuh militer dan pemerintahan pun dibersihkannya dari para penganut Kristen dan menggantikannya dengan para penganut pagan. Pada waktu itu penganiayaan besar terhadap para Pengikut Kristus terjadi di seluruh Kekaisaran Romawi Timur.

Suatu ketika Kaisar Licinius mencoba membujuk Jenderal Theodorus untuk mempersembahkan korban bagi patung dewa pagan di depan rakyatnya. Sang Jenderal pun meminta Sang Kaisar juga ikut bersama-sama untuk mempersembahkan korban bagi patung dewa. Namun sebelum hari yang ditentukan tiba, Sang Jenderal menghancurkan patung-patung yang terbuat dari emas dan perak tersebut berkeping-keping. Selanjutnya Beliau membagi-bagikan kepingan-kepingan tersebut kepada para orang miskin.

Apa yang dilakukan Jenderal Theodorus adalah sebuah kesaksian yang membuktikan bahwa patung-patung dewa yang disembah para penganut pagan hanyalah benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Hal itu pula berarti kepercayaan pagan hanyalah suatu kekonyolan. Oleh karena peristiwa itu maka marahlah Kaisar Licinius sejadi-jadinya. Kaisar memerintahkan untuk menangkapnya dan memberinya hukuman berat.

Jenderal Theodorus pun ditangkap dan disiksa dengan kejam. Ketika ditangkap Beliau diseret di tanah sambil dipukuli dengan batang besi sampai ke penjara. Sesampainya di penjara Beliau dipukuli pentungan berujung paku, dibakar, serta dicungkil matanya, lalu disalibkan. Semuanya ini disaksikan dan dituliskan seorang pelayan setianya yang bernama Varus, yang berusaha menguatkan dirinya untuk menyaksikan semua ini.

Pada malam harinya Malaikat Tuhan menurunkannya dari kayu salib dan menyembuhkan semua luka-lukanya. Saat terbangun dirasakannya bahwa tubuhnya sembuh dan sangat sehat, seolah tidak pernah disiksa. Maka para Prajurit kekaisaran yang melihatnya langsung tersungkur dan menerima diri mereka dibaptis di sekitar tempat tersebut.

Namun Demikian Sang Jenderal tidak hendak melarikan diri, akan tetapi melangkah menuju penjara dimana banyak para Pengikut Kristus disiksa untuk memberi semangat dan menguatkan mereka. Saat orang-orang yang di dalam penjara melihat Bapak Theodorus, mereka pun jadi bersemangat, dan semua orang yang menyentuh jubah Beliau maka seketika itu pula semua lukanya sembuh. Seisi penjara pun bersorak dan bersuka cita karena mereka merasakan bahwa Tuhan melihat penderitaan mereka dan apa yang mereka alami tidaklah sia-sia, semua diperhitungkan Allah.

Bapak Theodorus adalah sosok Sang Jenderal yang pantang mundur menghadapi kematian, demikianlah meski telah ditolong Malaikat Tuhan Beliau kemudian tidak lari menyelamatkan diri. Dengan lantang malah menyerahkan dirinya kepada Kaisar serta memberi teladan keberanian dan kerelaan hati kepada saudara-saudara seiman yang sedang dipenjara dan disiksa demi mempertahankan Iman terhadap Kristus. Kepada pelayan setianya, Varus, Beliau berpesan untuk menuliskan semua kisahnya dan selalu mengingat hari dan tahun kematiannya, dan menguburkan jenazahnya di kota kelahirannya di Eukaita.

Atas perintah langsung dari Kaisar Licinius, maka Jenderal Theodorus dipenggal. Hari itu adalah hari Sabtu tanggal 8 Februari 319, pada jam yang ketiga.


Diperingati setiap tanggal 8 Februari Kalender Julian




Parthenius Uskup Lampsakus


St. Parthenius Uskup Lampsakus


Janasuci Parthenius
Uskup Lampsakus Asia Kecil


Bapak Parthenius berasal dari kota Melitoupolis di wilayah Anatolia atau Asia Kecil. Beliau lahir dari keluarga yang sangat sederhana sehingga semenjak kecil tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Ayahnya adalah seorang Diakon bernama Christopher. Meskipun tidak mendapat pendidikan formal namun Beliau memiliki semangat untuk belajar meskipun hanya dengan belajar naskah-naskah dan literatur Gereja.

Secara turun temurun keluarga beliau hidup dari mata pencaharian sebagai nelayan. Dari penghasilannya sebagai nelayan yang tidak seberapa tersebut, Bapak Parthenius bahkan masih sempat memberi sebagian hartanya kepada para orang miskin dan kekurangan di kota tersebut. Karena hati yang begitu mulia inilah Tuhan sangat mengasihi Beliau. Sejak usia 18 tahun beliau memiliki karunia menyembuhkan segala penyakit, serta mengusir setan dan roh jahat, dan mujizat-mujizat lainnya, semuanya dilakukannya dalam nama Kristus Yesus.

Ketulusan hati Beliau serta tanda-tanda ajaib yang menyertainya membuat Uskup Philetus bersedia mendidiknya, lalu menjadikannya seorang Presbyter di kota tersebut. Nama Beliau pun menjadi makin tersiar di seluruh Asia Kecil, banyak orang yang disembuhkan dari penyakitnya dan menerima Kristus. Pada tahun 325 pada masa pemerintahan Konstantinus Agung ( Flavius Valerius Aurelius Constantinus Augustus, memerintah tahun 306-337 ), Uskup Agung Sisikus yang bernama Akilis mentahbiskan Bapak Parthenius sebagai Uskup untuk menggembalakan kota Lampsakus 

Makin tersiar pula ke seluruh penjuru Anatolia atau Asia kecil tersebut segala perbuatan ajaib dan mujizat yang dilakukan sang Uskup Lampsakus tersebut. Banyak orang yang meminta doa agar disembuhkan baik dari penyakit ataupun kerasukan roh jahat, baik dari kalangan Kristen maupun penganut pagan. Sang Uskup melakukannya dengan rela dan suka hati dan tidak memungut biaya sepeser pun. Banyak orang yang berbondong-bondong meninggalkan kepercayaan pagan yang dianut sejak nenek moyang mereka dan menjadi percaya akan Kristus.

Maka kuil-kuil penyembahan dewa pagan sepi karena ditinggalkan penganutnya, karena orang-orang telah menjadi pengikut Kristus. Uskup Parthenius pun menemui Kaisar Konstantinus untuk meminta ijin merobohkan kuil-kuil pagan yang telah sepi tersebut, untuk kemudian dibangun Gereja di tempat-tempat tersebut, oleh karena Gereja yang ada saat itu sudah tidak bisa lagi menampung jemaat yang makin lama makin banyak. Maka Sang Kaisar pun mengeluarkan sebuah dekrit yang mendukung Uskup Parthenius meruntuhkan kuil-kuil pagan dan membangun Gereja.

Tradisi Gereja menceritakan suatu hari Sang Uskup melihat di salah satu kuil pagan yang diruntuhkannya ada sebuah lempengan marmer yang Beliau rasa cocok untuk dijadikan meja altar di Gerejanya. Maka disuruhnyalah orang untuk mengangkutnya. Melihat hal itu marahlah si roh jahat penguasa kuil tersebut, ketika orang suruhan itu mengangkatnya dan mengangkutnya ke sebuah kereta kuda, maka roh jahat tersebut membalikkan kereta kudanya. Orang suruhan itu pun mati tertimpa batu marmer dan kereta kudanya, namun Bapak Parthenius mendoakannya dan bangkitlah orang itu hidup kembali.

Dalam kisah Tradisi Gereja pula dikisahkan, pada suatu saat ketika ada seorang yang kerasukan roh jahat sejak kecilnya, Bapak Parthenius pun tergerak hatinya untuk menolongnya. Beliau pun mengunjungi rumahnya dan bertemu dengannya. Maka roh jahat itupun bereaksi keras, namun akhirnya memohon untuk tidak mengusirnya dari tubuh orang itu. Akan tetapi Bapak Parthenius menjanjikan seseorang untuk dirasuki sebagai ganti orang tersebut. Setan itupun bertanya : "siapakah gerangan? Tubuh siapakah yang hendak ditawarkan untuk dirasuki sebagai ganti orang tersebut?". Maka Beliau menjawab : "ini aku, rasukilah aku jika kau mau". Maka setan tersebut berkata : "masuk dalam tubuhmu adalah siksaan bagiku, bagaimana aku berani memasuki Bait Allah...?!?" dan seketika itu pula meninggalkan orang itu. Sembuhlah orang tersebut dari kerasukan setan sejak masa kecilnya.

Semasa hidupnya Bapak Parthenius begitu banyak menyembuhkan orang-orang baik orang sakit fisik ataupun kerasukan setan. Beliau adalah seorang Pelayan Tuhan yang dikaruniai Kuasa Kesembuhan Ilahi. Di bawah penggembalaan Beliau seluruh Lampsakus bertobat dan meninggalkan kepercayaan pagan untuk menjadi pengikut Kristus, bahkan juga terjadi hampir di seluruh Asia Kecil. Beliau tidak pernah menolak orang yang meminta bantuan untuk didoakan dan dilayani. Beliau sempat mendirikan sebuah Gereja Kathedral yang sangat indah di kota tersebut. Beliau meninggal dunia dalam damai dan dikuburkan di sebuah kapel di Gereja yang dibangunnya tersebut.


Diperingati setiap tanggal 7 Februari Kalender Julian




Nicholas Uskup Agung Jepang


St. Nicholas Uskup Agung Jepang


Janasuci Nicholas
Sang Pencerah Negeri Jepang


Janasuci Nicholas bernama asli Ivan Dimitrievich Kasatkin, yang berarti juga nama ayahnya adalah Dimitri Kasatkin, seorang Diakon Gereja Orthodox Rusia di wilayah Keuskupan Smolensk. Beliau lahir tanggal 1 Agustus 1836 di desa Berezovsk, di distrik Belsk. Sejak kecil Beliau telah dididik dalam Hierarkhi Gereja. Setelah menyelesaikan pendidikannya di seminary Gereja di Belsk lalu melanjutkannya di seminary Smolensk, maka pada tahun 1857 Beliau masuk sekolah akademy theologi di Gereja St. Petersburg.

Pada waktu Konsul Rusia di Jepang meminta seorang rohaniawan pastoral untuk menjadi Imam bagi mereka dan keluarga mereka supaya dapat beribadah. Bapak Ivan Dimitrievich Kasatkin mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk misi ke Jepang. Pada tanggal 24 Juni 1860 saat Beliau ditugaskan melayani di akademi Gereja Dua Belas Rasul oleh Uskup Nectarius, Beliau ditonsure menjadi biarawan dan diberi nama Nicholas. Tanggal 29 Beliau ditahbis menjadi Diakon, keesokan harinya Beliau ditahbiskan menjadi seorang Imam. Demikianlah dengan telah ditahbiskannya Beliau menjadi Imam maka telah siap untuk dikirim misi ke Jepang, bukan hanya untuk melayani Konsulat Rusia namun juga sebagai misi untuk menyebarkan Iman Para Rasul kepada bangsa Jepang.

Tahun 1861 Bapak Nicholas mendarat di Hakodate, Jepang. Melihat kondisi negeri itu pada waktu itu dimana orang-orang melihatnya sebagai negeri yang buas, pada awalnya Beliau merasa pesimis. Beliau pun merasa harus mempelajari bahasa dan juga budaya bangsa Jepang. Beberapa tahun kemudian Beliau berhasil menguasai bahasa Jepang serta budaya dan sastranya, bahkan melebihi rata-rata orang Jepang. Disamping itu juga Beliau mempelajari bahasa Inggris yang pada waktu itu berkembang sebagai bahasa Internasional.
Kemampuan Bapak Nicholas dalam berbahasa Jepang serta budayanya membuahkan hasil meskipun tidak fantastik, tahun 1868 Jemaat Beliau yang asli orang Jepang ada 20 orang. Salah satunya adalah seorang mantan samurai sekaligus pendeta shinto, Sawabe Takuma. Pada mulanya Sawabe hendak membunuh Beliau di rumahnya, namun ternyata kemampuan Bapak Nicholas dalam berkomunikasi menjadi alat Tuhan untuk menyentuh hati Sawabe, dan membuatnya menerima Iman Para Rasul. Sawabe Takuma menjadi orang Jepang pertama yang ditahbiskan menjadi Imam Orthodox.

Tahun 1869 Bapak Nicholas kembali ke Gereja St. Petersburg untuk melaporkan hasil pelayanan misinya. Setahun kemudian atas prestasinya Beliau diangkat menjadi Archimandrite, adalah tingkatan jenjang pastoral tertinggi untuk biarawan. Maka atas usulan Beliau dibentuklah misi rohani khusus untuk penginjilan di Jepang oleh Gereja orthodox Rusia.

Tahun 1871 Beliau kembali ke Jepang dan melayani di pusat misionaris di Tokyo, sedangkan Jemaat Beliau yang di Hakodate diserahkan kepada Anatolius untuk digembalakan. Masa tersebut adalah masa sulit, dimana banyak orang-orang Kristen dianiaya dan dipenjara. Dua tahun kemudian barulah penganiayaan mereda, Bapak Nicholas pun bisa kembali melaksanakan misi pelayanannya. Bersama 50 orang Jemaat yang menjadi murid Beliau membangun sebuah Gereja sekaligus tempat tinggal dan belajar bagi mereka. Pada tahun 1878 Gereja tersebut menjadi tempat seminari di Tokyo.

Di bawah penggembalaan Bapak Nicholas Gereja semakin bertumbuh dan berkembang, Beliau adalah benar-benar orang yang dipakai Tuhan untuk mengajarkan Iman Para Rasul yaitu Injil Kristus kepada orang-orang Jepang. Pada tahun 1878 Jemaat di Jepang telah mencapai lebih dari 4000 orang. Bapak Archimandrite Nicholas pun ditahbiskan menjadi Uskup untuk melayani wilayah Jepang pada tanggal 30 Maret 1880.

Tahun 1895 pecah perang antara Kekaisaran Jepang dan Kerajaan Rusia. Pada masa ini Gereja Orthodox yang digembalakan Bapak Nicholas mengalami masa yang suram. Tentu saja pihak Kekaisaran Jepang selalu mencurigai Gereja tidak loyal terhadap Kaisar. Disinilah kemampuan Bapak Nicholas dalam berkomunikasi dan berdiplomasi diuji, Beliau harus bisa mengkomunikasikan bahwa Gereja netral tidak berpihak bahkan Gereja berkewajiban melayani bangsa suatu negeri dimanapun Gereja ada. Kaisar Meiji pun terkesan akan upaya Beliau dan sangat menghormatinya.

Pergolakan batin pun muncul dalam diri terdalam sedemikian hingga demi menenangkan diri Bapak Nicholas menjalani kehidupan asketisnya selama masa perang. Di satu sisi Beliau begitu mencintai negaranya dan berdoa bagi negaranya. Di sisi lain Beliau juga harus berdoa bagi bangsa dimana Beliau diutus untuk melayani, terutama bagi jemaatnya yang adalah orang-orang Jepang yang juga ikut berperang bagi Kekaisaran. Terlebih lagi saat banyak sekali tentara Rusia yang tertangkap dan ditawan Kekaisaran Jepang, Bapak Nicholas juga melayani mereka. Beliau menolak untuk kembali pulang ke negerinya demi melayani jemaat-jemaatnya di Jepang, dan melayani para tawanan yang adalah orang-orang Rusia. Beliau banyak sekali menyelamatkan para tawanan tersebut dari kematian dalam pelayanannya. Beliau tau resikonya bertahan di negeri yang menjadi musuh dari tanah kelahirannya adalah kehilangan nyawa.

Tahun 1905 perang pun berakhir saat ditandatanganinya Perjanjian Portsmouth oleh kedua belah pihak yang dimediasi oleh Amerika oleh Presidennya yaitu Theodore Roosevelt. Berkat kemampuan berkomunikasinya dan diplomasinya yang luar biasa Gereja Orthodox Rusia di jepang mampu bertahan selama perang, dan juga banyak sekali menolong tentara Rusia yang berada dalam tawanan. Beliau pun akhirnya diangkat menjadi Uskup Agung.

Pada tahun 1911 tercatat lebih dari 33000 Jemaat Beliau yang telah Orthodox, serta lebih dari 100 orang katekumen, 266 komunitas, 6 Diakon, 35 Presbiter, 1 Uskup dan 1 Uskup Agung. Setahun kemudian tepatnya tanggal 3 Februari 1912 Bapak Uskup Agung Nicholas harus berpulang ke Hadirat Allah. Atas segala karya pelayanan serta dedikasi Beliau maka tanggal 10 April 1970 Gereja mengkanonikasikan sebagai Janasuci.

Bapak Nicholas adalah seorang pribadi yang luar biasa. Kepribadian Beliau bahkan membuat seorang Kaisar Jepang terkesima. Beliau juga adalah seorang yang pandai berkomunikasi dan berdiplomasi. Beliau juga seorang pengajar yang berkharisma, semasa hidupnya telah mencetak banyak sekali pelayan-pelayan Tuhan yang handal. Sungguh Karunia Roh Kudus yang luar biasa. Tahun 2004 seorang yang bernama Kennosuke Nakamura menemukan sebuah buku harian yang ternyata adalah milik Bapak Nicholas. Pada tahun 2007 buku harian tersebut selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang seluruhnya.




Diperingati setiap tanggal 3 Februari Kalender Julian




Janasuci Euthymius Agung


St. Euthymius Agung


Janasuci Euthymius Agung

Bapak Euthymius lahir sekitar tahun 377 pada masa pemerintahan Kaisar Gratianus (Flavius Gratianus Augustus, memerintah tahun 367-383) di kota Melitine sebuah kota kuno di Armenia (sekarang adalah kota Malatya wilayah Turkey). Ayahnya bernama Paulus (Paul) dan Ibundanya bernama Dionysia, mereka berdua adalah pengikut Kristus sejati. Kedua orang tuanya lama tidak memiliki anak, sehingga mereka selalu berdoa di Gereja Santo Polyeuctus agar dikaruniai seorang anak. Suatu ketika saat mereka berdoa, mereka mendapat penglihatan seorang Malaikat Tuhan mendatangi mereka dan berkata : "Berbahagialah..!, Oleh karena kelahiran anak kalian seluruh bidat akan lenyap, dan Damai Semesta akan meliputi Gereja Tuhan". Oleh karena itulah kedua orang tua beliau menamai Euthymius yang berarti berbahagia.

Ketika ayahanda beliau meninggal, ibunda beliau menitipkannya kepada saudaranya yang bernama Eudoxius yang kemudian membawa beliau kepada Eutroios, seorang Uskup di kota Melitine. Dalam asuhan Uskup Eutroios inilah Bapak Euthymius menjadi seorang Presbyter. Beliau sangat pandai dalam hal Literatur Gereja dan juga berbakat dalam menjalani kehidupan asketik. Bapak Euthymius kemudian menjadi seorang Biarawan yang mana mendapat kepercayaan dari Uskup Eutroios untuk mengurus Biara-Biara yang ada di kota tersebut. Beliau tidak juga sering mengunjungi Santo Polyeuctus tempat dimana kedua orang tua beliau selalu berdoa dulu untuk memohon seorang anak. Salah satu kebiasaan Bapak Euthymius adalah selalu mengundurkan diri ke padang gurun atau padang belantara saat masa Pra-Paskah untuk menjalani puasa.

Pada saat usia beliau 29 tahun beliau pergi ke suatu tempat dekat Yerusalem. Di situ ada sebuah Lavra (salah satu jenis Biara) bernama Tharan, tinggalah beliau di situ untuk menjalani kehidupan asketisnya. Di Lavra tersebut beliau bertetangga dan bersahabat dengan seorang pertapa bernama Janasuci Theoctistus. Selama di Lavra beliau hidup dengan menjual keranjang buatan tangan beliau. Kebiasaan beliau pun tetap berlanjut, yaitu setiap puasa Pra-Paskah selalu menyingkir ke padang gurun untuk melakukan puasanya. Saat itulah beliau menemukan tempat yang cocok dan lebih sunyi untuk menjalani asketisnya, sebuah gua di gunung terletak diantara Yerusalem dan Yeriko. Beliau dan temannya yaitu Bapak Theoctistus pergi ke goa tersebut untuk menjalani asketisnya.

Suatu saat seorang gembala bersama kawanan ternaknya melintasi tempat tersebut dan melihat ada dua orang sedang bertapa di goa tersebut, maka saat gembala tersebut kembali ke desanya, dia menceritakannya kepada penduduk desa. Tidak lama setelah itu orang-orang desa mulai berdatangan membawa kerabat mereka yang sakit kepada Bapak Euthymius dan Theoctistus untuk memohon doa kesembuhan. Mereka pun sembuh oleh doa-doa kedua Janasuci tersebut. Maka tersiarlah kabar tentang hal ini sampai ke seluruh penjuru negeri. Pada suatu hari datanglah seorang Kepala Suku dari tanah Arab bernama Asfibit (Aspebet) yang memiliki anak sedang sakit parah dan hampir mati yang bernama Tiribun (Terebon) memohon kepada sang Janasuci untuk didoakan supaya sembuh. Bapak Euthymius pun berdoa untuknya dan sembuhlah dia. Tidak lama setelah itu Asfibit menerima Kristus dan menyerahkan dirinya dibaptis oleh Bapak Euthymius dan diberi nama Baptis Petrus, maka seluruh suku Asfibit pun juga mengikuti jejak Kepala sukunya. Kelak Asfibit menjadi Uskup bagi sukunya dan tanah arab. Demikianlah sejak menjalani kehidupan asketisnya di goa tersebut, Bapak Euthymius banyak melakukan mujizat kesembuhan kepada orang-orang yang membutuhkan, kisah tentang Bapak Euthymius dan Theoctistus makin menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Maka makin hari makin ramai goa tempat mereka, sehingga Bapak Euthymius memutuskan pergi untuk menemukan tempat baru, beliau menyukai kesunyian dimana adalah tempat ideal menjalani kehidupan asketisnya. Berjalanlah beliau menyusuri padang gurun dan padang belantara, sampailah beliau kepada sebuah goa dimana Daud pernah bersembunyi dari kejaran Raja Saul dan tentaranya. Di tempat itulah beliau melanjutkan asketisnya, dan mempertobatkan banyak biarawan kaum Manikeisme (Manichaeism) dan menjadikan mereka muridnya. Di tempat ini juga beliau sempat mendirikan Gereja. Waktu pun berlalu, orang-orang dari segala penjuru negeri pun menemukan tempat beliau yang baru, kembali mereka berbondong-bondong mengunjungi tempat tersebut untuk mendapatkan mujizat dari beliau. Maka Bapak Euthymius melakukan pula banyak mujizat kesembuhan bagi orang-orang sakit dan mengusir roh jahat dari tubuh orang-orang yang kerasukan.

Makin ramailah tempat tersebut sehingga Bapak Euthymius memutuskan kembali ke Lavra dimana beliau bertemu dengan Bapak Theoctistus, sedang Bapak Theoctistus sendiri masih tetap tinggal di goa yang pertama kali mereka temukan, hanya seminggu sekali beliau ke Lavra untuk mengikuti ibadah dan menerima komuni. Di Lavra tersebut beliau diminta untuk mengurusnya, namun dalam hati beliau lebih suka menjalani hidup asketis di tempat yang sunyi dan tenang ketimbang terlibat dalam urusan organisasi. Maka datanglah suatu penglihatan kepada beliau, TUHAN mengatakan kepada beliau : "Janganlah menolak orang-orang yang datang kepadamu demi keselamatan jiwa mereka!", akhirnya beliau pun mau mengambil tanggung jawab tersebut. Pada tahun 429 Patriark Juvenalis dari Yerusalem mengkonsekrasi Lavra tersebut dan menempatkan para Presyter maupun Diakon. Saat itu beliau berusia sekitar 52 tahun.

Suatu ketika ada serombongan orang Armenia berjumlah kira-kira 400 orang sedang menuju Yordania, mereka lewat Lavra Tharan tersebut dan menumpang untuk beberapa lama karena mereka kehabisan bekal dan membutuhkan tempat berlindung. Bapak Euthymius pun menerima mereka, namun beberapa biarawan mengeluh karena persediaan makanan mereka tidak cukup bila menerima rombongan orang-orang Armenia tersebut. Namun dengan penuh welas asih Bapak Euthymius menyuruh para biarawannya untuk memberi makan dan memelihara mereka sampai mereka siap untuk berangkat melanjutkan perjalanan mereka. Saat itu Lavra memang sangat miskin, persediaan makan Lavra tersebut sangat minim bahkan untuk memelihara kehidupan para biarawan yang tinggal di situ. Bapak Euthymius pergi untuk melihat gudang tempat persediaan, dilihatnyalah hampir kosong. Namun oleh doa-doa beliau setiap hari seluruh orang di Lavra tersebut bisa makan dan minum dengan puas dari persediaan makan mereka, dan tidak pernah kelaparan. Tiga bulan berlalu, Rombongan orang Armenia tersebut telah siap berangkat, mereka pun masing-masing telah mendapat perbekalan penuh, sedangkan gudang penyimpanan Lavra tersebut juga sangat penuh sehingga tidak bisa ditutup pintunya. Berkat doa-doa Bapak Euthymius, Allah memelihara Lavra tersebut beserta orang-orang yang tinggal di dalamnya, kejadian yang persis dialami seorang janda di Sarfat pada kitab 1 Raja-raja 17:7-24.

Pada saat umur beliau 82 tahun beliau menerima seorang biarawan muda bernama Saba (Sabbas the Sanctified). Beliau membawanya untuk berada dalam bimbingan temannya yaitu Bapak Theoctistus. Bapak Euthymius telah memprediksi bahwa biarawan muda ini kelak akan memegang tanggung jawab lebih dari saudara-saudara yang lain dalam biara tersebut. Baik Bapak Euthymius maupun Bapak Theoctistus sangat mengasihi biarawan muda tersebut. Pada saat usia beliau kira-kira 90 tahun Bapak Theoctistus sakit keras. Maka Bapak Euthymius pun mengunjungi biara Bapak Theoctistus dan menemani sahabatnya tersebut hingga meninggal, setelah selesai penguburannya beliau kembali ke Lavra. Tujuh tahun kemudian Bapak Euthymius meninggal dalam damai, tepatnya pada tanggal 20 Januari 473.



Diperingati setiap tanggal 20 Januari 



Bunda Nina


St. Nina


Janasuci Bunda Nina
Sang Pencerah Bangsa Georgia

Bunda Nina lahir di Cappadocia sebagai putri tunggal pasangan Zabulon (Zebulon) dan isterinya Sosana (Susanna) sekitar tahun 280. Zabulon sang ayah adalah seorang tentara Romawi berpangkat Jenderal, yang juga masih memiliki hubungan kerabat dengan Janasuci George dari Lydda yang menjadi martir tahun 303 dalam masa penganiayaan besar oleh Pemerintahan Kaisar Diocletian (Gaius Aurelius Valerius Diocletianus Augustus, tahun 244-311). Sosana sang ibu memiliki adalah adik dari Patriarkah Yerusalem Juvenal (Houbnal). Pada saat Bunda Nino berusia 12 tahun mereka sekeluarga pindah ke Yerusalem. Tidak lama kemudian sang ayah memutuskan untuk menjadi seorang rahib dan mendapat tonsur sebagai biarawan untuk melayani Tuhan di padang belantara daerah Yordania. Keluarga tersebut sepakat menjual seluruh hartanya. Sedang sang ibu dari Bunda Nina ditahbiskan menjadi seorang Diakonis oleh kakaknya sang Patriarkah Yerusalem dan melayani orang orang miskin dan sakit, dan menitipkan Bunda Nina kepada seorang wanita tua bernama Sara Niaphor (Nianfora) atau yang membesarkan Bunda Nino dalam Iman Kristen.

Bunda Nina tumbuh menjadi seorang gadis yang cinta akan Tuhan. Setiap hari tak lepas dari doa-doa dan pembacaan Firman Tuhan. Suatu saat beliau tertarik akan kisah penyaliban Kristus yang mana beliau tertarik akan Jubah Yesus yang terkoyak saat disalibkan, dimanakah Jubah tersebut berada...? Beliau percaya bahwa benda suci tidak akan hilang. Sang ibu angkat bercerita kepada Bunda Nina bahwa menurut cerita tradisi ketika para prajurit Roma membuang undi untuk memperebutkan jubah Yesus, jatuhlah pada seorang prajurit yang berasal dari Iberia (sekarang adalah Georgia) dan prajurit itu membawanya pulang ke kampung halamannya di kota Mtskheta di wilayah Kartli, Iberia. Letaknya adalah di sebelah Timur Laut Yerusalem. Sejak mendengar cerita dari sang ibu angkat tersebut Bunda Nina selalu berdoa siang dan malam berharap memiliki kesempatan pergi ke Iberia dan menemukan Jubah Yesus untuk menghormatinya, serta mengabarkan Nama Kristus kepada orang-orang Kartli yang belum mengenal Tuhan.

Sampai pada suatu saat Tuhan menjawab doa beliau melalui suatu penglihatan dalam mimpinya. Dalam mimpinya itu Bunda Maria sang Theotokos menemui beliau dan menyuruhnya pergi menuju Iberia untuk memberitakan Injil tempat yang seharusnya dulu Bunda Maria harus kesana namun belum sempat melaksanakannya. Anaknya, yaitu Yesus akan melimpahkan RahmatNya serta PerlindunganNya, dan juga mengaruniakan Hikmat Kebijaksanaan sehingga orang-orang akan mendengarkan apa yang dikatakan Bunda Nina. Namun terbersit keraguan dalam diri Bunda Nina, beliau merasa dirinya hanya wanita lemah, bagaimana bisa mengambil tanggung jawab yang sedemikian besar, apakah semuanya ini nyata ataukah hanya mimpi belaka. Namun Bunda sang Theotokos menjawab beliau dengan memberikan sebuah salib yang dianyam dari batang pohon anggur sebagai tanda bahwa Bunda Nina akan diberi perisai untuk melindungi beliau dari musuh yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Saat beliau terbangun terkejutlah beliau mendapati tangannya sedang menggenggam sebuah salib dari batang anggur persis seperti dalam mimpi. Berurailah Bunda Nina dengan air mata dan mengikat salib itu dengan helai-helai rambutnya supaya lebih kuat.

Menurut tradisi Rasuliah Setelah Yesus naik ke Sorga, para Rasul haruslah tinggal di Yerusalem untuk menunggu Sang Penghibur yang dijanjikan. Mereka berunding untuk menentukan kemana mereka harus memberitakan Injil Kristus. Maka mereka sepakat untuk membuang undi untuk menentukan kemana Allah mengirim masing-masing mereka sesuai keinginanNya, hal ini sesuai tradisi Yahudi. Saat undi dilemparkan untuk Bunda Maria Sang Theotokos maka ditunjukkanlah Iberia atau yang disebut Georgia sekarang. Sesudah peristiwa Pentakosta Para Rasul berangkat ke wilayah misinya masing-masing sesuai kesepakatan melalui undi. Bunda Maria juga bersiap untuk menuju Iberia, akan tetapi di tengah jalan Bunda Theotokos ditahan langkahnya oleh Malaikat Allah dan menyuruhnya untuk tetap di Yerusalem. Misi yang tertunda ini digenapi tiga abad setelahnya, saat Bunda Theotokos mengirim Bunda Nina untuk mengerjakan misinya yang belum terlaksana.

Setelah mendapat penglihatan tersebut, Bunda Nina segera memberitahukan kepada pamannya yang adalah Patriarkah Yerusalem. Maka sang paman memberkati Bunda Nina dan membiarkannya ke Iberia. Dalam perjalanannya saat singgah di kota Roma, beliau bertemu dengan dengan Rhipsimia (Hripsime) seorang biarawati yang cantik jelita di bawah asuhan kepala biarawati Gaiana (Gayane). Pada masa itu Kaisar Diocletian sangat kejam terhadap orang-orang Kristen dan menandatangani dekrit pembersihan terhadap para pengikut ajaran Yesus. Saat itu Kaisar jatuh hati kepada Rhipsimia dan meminta untuk menikahinya, namun Rhipsimia menolaknya dan tetap mempertahankan dirinya sebagai biarawati. Untuk menghindari kemarahan dan kekejaman kaisar, maka Rhipsimia, Gaiana serta para biarawati yang diasuhnya bersama-sama dengan Bunda Nina melarikan diri menuju Vagarshapat (Echmiadzin) di wilayah Armenia. Jumlah mereka satu rombongan sekitar 53 orang, data lain mengatakan mereka 37 orang.

Namun Kaisar Diocletian berhasil mengetahui kemana mereka melarikan diri. Sang Kaisar segera mengirim seorang pembawa untuk menemui Raja Armenia yang bernama Tiridates III (Tahun 250-330) meminta bantuan untuk mengisolasi dan menjaga agar rombongan Rhipsimia tidak kabur, dan akan membawa pulang Rhipsimia untuk dijadikan istrinya. Maka Raja Tiridates bersedia melakukannya namun setelah dia melihat Rhipsimia, sang Raja pun akhirnya juga jatuh hati dan berniat menjadikannya menjadi istrinya. Rhipsimia menolaknya dan tetap mempertahankan dirinya sebagai biarawati. Timbullah amarah Raja dan memutuskan untuk menangkap, serta menyiksa mereka dan menjatuhinya dengan hukuman mati di tempat. Secara ajaib Bunda Nina selamat dari penangkapan tersebut, seperti ada tangan yang tak terlihat yang menuntunnya menuju semak-semak bunga mawar liar yang belum berbunga. Dari situ Bunda Nina melihat semua apa yang terjadi pada rombongan biarawati tersebut. Dengan hati yang terguncang dengan apa yang sedang terjadi di depan matanya beliau mengangkat tangannya dan berdoa. Maka kelihatanlah rombongan Malaikat dan para penghuni Sorga turun dari langit menjemput jiwa-jiwa para biarawati yang terbunuh tersebut. Malaikat tersebut mengatakan kepada beliau untuk tetap tabah dan menyuruhnya berangkat menuju utara, dimana disana akan ada tuaian besar tetapi belum ada pekerjanya.

Sesuai dengan apa yang disampaikan Malaikat tersebut, Bunda Nina melanjutkan perjalanannya menuju utara, maka sampailah beliau di Iberia. Tibalah beliau di sungai Kura dekat desa Khertvisi, yang mengalir dari barat menuju ke tenggara, ke Laut Kaspia, dan ke seluruh Iberia. Di sungai tersebut beliau bertemu sekumpulan penggembala, mereka berbahasa Armenia, mereka memberi beliau makanan dan minuman. Bunda Nina bisa berbahasa Armenia karena ibu angkat beliau juga berbahasa Armenia. Beliau meminta petunjuk kepada para penggembala tersebut arah menuju kota Mtskheta. Para penggembala tersebut yang ternyata juga berasal dari Mtskheta menujukkan arah ke kota tersebut adalah searah dengan menuruni sungai ini turun sejauh itulah kota Mtskheta terletak.

Sebelum melanjutkan perjalanan, beliau beristirahat sejenak sembari timbul gejolak dalam pikiran beliau, apakah Tuhan benar-benar menyertainya? apakah hasil dari semua yang telah dilaluinya? apakah semuanya ini adalah suatu hal yang sia-sia? memikirkan ini Bunda Nina sampai tertidur. Dalam tidurnya beliau bermimpi seseorang laki-laki berambut panjang dengan berpakaian megahnya serta tangannya membawa sebuah gulungan kitab, dibukanyalah gulungan itu dan muncullah tulisan ayat-ayat. Bunda Nina terbangun dan alangkah terkejutnya didapatinya gulungan kitab tersebut ditangannya dan ketika dibuka telah tertulis ayat-ayat persis seperti dalam mimpinya. Maka dengan penuh semangat beliau bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya.

Maka sampailah beliau di kota Urbnisi, sebuah kota kuno di Negeri orang-orang Kartlian tersebut. Di kota itu Bunda Nina tinggal kurang lebih selama satu bulan tinggal bersama dengan orang-orang Yahudi di tempat tersebut. Sampai suatu saat ketika banyak orang yang berencana menuju kota Mtskheta untuk memuja patung Dewa Armazi, beliau memutuskan untuk ikut dalam rombongan mereka. Saat akan mendekati kota Mtskheta, mereka bertemu rombongan Raja Mirian (Mirian III, tahun 306–337) dan Ratu Nana yang sedang menuju puncak gunung di seberang kota itu untuk memuja patung Dewa Armazi. Maka rombongan beliau pun bergabung dengan rombongan Raja dan Ratu.

Sampailah di puncak gunung dimana terdapat altar dan patung Dewa Armazi serta bangunan-bangunan seperti candi-candi. Patung tersebut berpenampilan laki-laki bertubuh tinggi besar terbuat dari tembaga berlapis emas, dipakaikan zirah dan penutup kepala dari emas, matanya satu terbuat dari rubi dan satunya dari zamrud dengan kualitas yang sangat kemilau. Di sebelah kanan terdapat patung emas kecil bernama Katsi, di sebelah kiri terdapat patung perak bernama Gaim. Semua orang yang digunung itu begitu menghormati patung-patung tersebut. Para imam mereka mempersembahkan kurban darah, terdengar terompet dan simbal bersautan, orang-orang pun bersujud sambil gemetaran di hadapan patung yang tak bernyawa tersebut.

Melihat pemandangan ini bergejolaklah hati Bunda Nina, sambil menengadah dan berdoa kepada Allah. Bunda memohon dengan segenap hatinya sambil menangis agar Allah mengasihani orang-orang tersebut, dan memberikan pencerahan, dan hikmat marifat untuk melepaskan rakyat Iberia dari kegelapan mereka. Biarlah Allah mengaruniakan bangsa tersebut keselamatan di dalam Nama Yesus, dan mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan berbalik menyembah Allah. Dan biarlah dirinya diberi kesempatan untuk melihat Tangan Tuhan menghancurkan patung-patung tersebut. Belum selesai berdoa ketika tiba-tiba muncul awan badai dari barat bergerak sangat cepat melintasi sepanjang sungai Kura menuju gunung menuju gunung tersebut. Semua orang berlarian berlindung pada celah-celah batu di gunung itu. Awan badai itu berhenti tepat diatas gunung, diatas altar dan bangunan-bangunan penyembahan patung Dewa Armazi. Awan badai itu melontarkan ledakan-ledakan dahsyat guntur-guntur dan petir-petirnya yang mengenai seluruh bangunan dan patungnya sehingga hancur menjadi debu dan kerikil. Kemudian muncullah banjir bandang yang tumpah dari puncak gunung itu seperti air terjun yang sedang banjir menyapu semua sisa-sisa reruntuhan altar, bangunan candi-candi, serta patung-patungnya. Setelah kejadian itu goyahlah iman para penduduk seluruh negeri Iberia karena Dewa yang mereka sembah hancur dan lenyap disapu badai dan banjir.

Bunda Nina pun sampailah di kota Mtskheta, beliau yang berpenampilan seorang pengembara mendekati rumah seorang tukang kebun kerajaan. Anastasia istri dari tukang kebun tersebut menyambutnya dengan senang hati dan sangat menghormati beliau. Mereka meminta beliau tinggal bersama mereka karena mereka sangat kesepian karena tidak memiliki anak. Sesuai keinginan Bunda Nina, sang tukang kebun membangun sebuah gubuk kecil di pojok taman rumahnya untuk Bunda Nina. Di gubuk itulah Bunda menghabiskan hari-harinya tidak lepas dari doa-doa dan lantunan nyanyian mazmur, dan ditempatkanlah salib pemberian Bunda Maria Sang Theotokos disitu. Di dalam gubuk itu juga Bunda Nina mendoakan banyak orang-orang sakit dan akhirnya sembuh. Setahun kemudian pasangan tersebut memiliki anak dan mereka adalah yang pertama kali menjadi pengikut Kristus di negeri itu. Berita tentang mujizat dan pengajaran-pengajaran Bunda Nina segera menyebar dengan cepat ke seluruh negeri Iberia.

Pada awalnya Raja Mirian dan Ratu Nana sangat tidak suka dengan Bunda Nina karena mengajarkan tentang Tuhan yang tidak dikenal bangsa Iberia dan membuat banyak rakyatnya menjadi pengikutnya. Namun meskipun begitu sang Raja tidak berlaku kejam ataupun menghalangi pemberitaan Injil, akan tetapi Ratu sangat membenci orang Kristen karena sangat membela Dewa-Dewa yang ia percayai. Begitu bencinya sehingga kejiwaan sang Ratu mulai terganggu dan menjadi sosok wanita yang kejam terhadap orang di sekelilingnya. Sampai suatu saat Ratu jatuh sakit dan makin hari makin parah. Saat kondisi Ratu mulai sekarat, para pelayannya yang sebagian telah menjadi Kristen memohon Bunda Nina untuk menyembuhkannya. Bunda Nina menjawab jikalau Ratu ingin menjadi pulih dan baik kembali keadaannya baik raga maupun jiwanya hendaklah datang ke gubuk beliau, dan menerima kesembuhan oleh kekuatan Kristus. Hal tersebut sebagai ujian akan kerendahan hati sang Ratu apakah dia mau menerima Yesus sebagai Juruselamat atau tidak, akhirnya Ratu pun bersedia mendatangi gubuk Bunda Nina. Dalam gubuk Ratu berbaring, sedangkan Bunda Nina berlutut sambil berdoa, lalu mengambil salib pemberian Sang Theotokos dan menempelkannya kepada Ratu Nana di kepala, kaki, lalu kedua bahu membentuk tanda salib, seketika itu sembuhlah Ratu Nana baik sakit raga maupun jiwanya.

Sejak saat itu Ratu menerima Kristus sebagai Juruselamat, dan sangat baik terhadap Bunda Nina. Ratu menganggap beliau adalah penasehat spiritual dalam kerajaannya bahkan layaknya teman. Ratu Nana juga belajar tentang Iman Kristen banyak dari Penatua Abiathar (Abyatar) dan anaknya Sidonia. Abiathar pada mulanya adalah seorang Imam Yahudi, putrinya lebih dulu mengikut Kristus, tidak lama setelah itu Abiathar pun mengikuti jejak putrinya oleh karena bertemu dan mendengar langsung pengajaran-pengajaran Bunda Nina mengenai ajaran-ajaran para Nabi. Sejak Ratu Nana menjadi pengikut Kristus, maka Kristen menjadi kepercayaan resmi dalam pemerintahan Kerajaan Iberia. Sementara Kerajaan Armenia yang dipimpin Raja Tiridates III telah terlebih dulu menjadi Kerajaan Kristen setelah Rajanya menjadi pengikut Kristus karena mendengar kabar mengenai banyak hal yang dilakukan Bunda Nina termasuk apa yang terjadi di puncak gunung tersebut saat Allah meluluhlantakkan altar Dewa Armazi, lagipula Raja Tiridates jadi teringat pula dengan para biarawati yang dibunuhnya.

Di sisi lain Bunda Nina mendapat secercah harapan untuk mengetahui dimana keberadaan Jubah Yesus yang dicarinya. Abhiatar mantan Imam yahudi tersebut bercerita tentang kakek buyutnya yang bernama Elioz. Saat Yesus hendak disalibkan, Elioz menerima undangan dari Imam Tinggi Yahudi bernama Annas di Yerusalem untuk menghadiri peristiwa penyaliban tersebut. Ibunda dari Elioz yang masih keturunan Imam Elias menasehatinya agar tidak ikut bersekutu dengan para pembenci Yesus yang akan dihukum mati tersebut, karena Yesus yang hendak dijatuhi hukuman mati orang Yahudi itu adalah seorang Mesias yang diceritakan para Nabi terdahulu. Ibunda Elioz meninggal pada malam paskah Yahudi itu artinya malam hari saat Yesus telah mati disalib.Elioz yang menyaksikan peristiwa penyaliban tersebut meminta Jubah Yesus yang ditanggalkan dan dijadikan taruhan para prajurit Romawi pada salah seorang dari prajurit itu yang memenangkan undi atas Jubah itu. Dibawanyalah pulang Jubah tersebut ke kota tempat tinggalnya di Mtskheta. Sesampainya dirumah, adik perempuannya yang bernama Sidonia menyambut sang kakak, saat melihat Jubah Yesus Sidonia mengambilnya dan teringatlah dengan apa yang dikatakan Almarhum Ibundanya tentang Yesus dan menceritakan pada kakaknya bahwa Ibunya telah meninggal. Sidonia menangis dan menciumi jubah tersebut dan memeluknya sangat erat, saat itu juga meninggallah Sidonia dengan mendekap erat Jubah tersebut dan tidak ada yang bisa melepaskannya. Elioz mengubur adiknya bersama Jubah Kristus yang didekapnya dengan diam-diam agar tidak seorangpun tahu kuburannya. Menurut tradisi keluarga, tempat dikuburkannya tubuh Sidonia dan Jubah Yesus itu sekarang adalah persis di bawah pohon Cedar di tengah taman Istana.

Sementara itu Raja Mirian masih ragu untuk mau menjadi pengikut Kristus. Suatu ketika datanglah seorang kerabat dari Raja Persia yang juga adalah penganut Zoroastri. Beberapa waktu tinggal di Kerajaan Iberia kerabat Raja Persia tersebut jatuh sakit sakit, seperti orang kena tenung dan kerasukan roh jahat. Raja Mirian sangat takut, jangan-jangan Raja Persia akan murka jika kerabatnya mati dan mengira Raja Mirian tidak mau mengurusnya dan mengupayakan kesembuhannya. Segera Raja mengirim utusan untuk meminta bantuan Bunda Nina untuk menyembuhkannya. Orang yang sakit itu diletakanlah di bawah pohon Cedar yang terletak di tengah-tengah taman Istana Kerajaan, dihadapkannya orang itu kearah timur, disuruhnyalah orang itu mengangkat tangan dan berkata tiga kali bahwa dia mau mengikut Kristus dan menerimanya sebagai Juruselamat. Maka terguncanglah tubuh orang itu sampai ke tanah lalu terdiam mayat dan roh jahat itu meninggalkannya, maka sembuhlah orang itu.

Maka ketakutan yang amat sangat melanda Raja Mirian. Hal ini karena kerabat Raja Persia yang sembuh tersebut telah menjadi pengikut Kristus, dia berpikir pasti Raja Persia yang penganut Zoroastri akan marah dan akan menimbulkan perang besar. Dengan kondisi yang terbeban itu Raja lalu memutuskan untuk pergi berburu bersama beberapa pengawal dan orang kepercayaannya untuk menenangkan pikiran dan menyusun strategi. Ketika pada suatu ketika sang Raja sampai di gunung Tkhoti, pikiran Raja yang kalut menyusun suatu rencana untuk membersihkan kerajaannya dari orang-orang Kristen. Orang-orang disamping Raja saat itu memanglah sangat benci kepada Orang Kristen karena membuat Dewa mereka tidak laku, dan ditinggalkan, sehingga mereka memberikan ide-ide untuk membersihkan negeri itu dari orang Kristen, serta menegakkan kembali patung Dewa Armazi. Hal ini berarti akan ada pembantaian massal, oleh karena banyak rakyatnya yang telah menjadi Kristen, termasuk Ratu. Akan tetapi Raja yang sedang kacau pikirannya karena takut menghadapi perang dengan Raja Persia tersebut akhirnya membulatkan tekad untuk melakukan niat jahatnya. Raja berteriak kencang diatas gunung itu kepada Dewanya untuk membantu melaksanakan niatnya.

Gunung Tkhoti menjadi saksi bisu akan pengakuan Raja Mirian akan Tuhan Allah yang benar, dan menjadi pengikut Kristus. Saat Raja berteriak kepada Dewanya itulah tiba-tiba muncul awan badai persis seperti di puncak gunung tempat altar Dewa Armazi dulu. Dari awan badai itu muncul kilat yang menyambar dengan dahsyatnya dang sangat silau cahayanya sehingga Raja menjadi buta saat itu juga, sedangkan guntur-gunturnya menyerakkan semua orang yang di sekitar Raja. Begitu dahsyat awan badai itu menghajar rombongan Raja. Raja berteriak-teriak memanggil-manggil Dewa-Dewanya, namun awan badai itu semakin dahsyat mengguntur dan menggelegar. Setelah beberapa waktu Raja mulai lemah dan putus asa, sedangkan Dewa-Dewa yang dia panggil tidak berbuat apa-apa, badai makin dahsyat. Dalam keputusasaan Raja mulai menyadari bahwa itu adalah hukuman atas dirinya, menyesallah dia dan memohon ampun kepada Tuhan yang disembah Bunda Nina. Terucap satu permintaan dari mulut sang Raja " Ya Allah Nina, hilangkanlah kegelapan di mataku, maka aku akan mengakuiMU dan menyembahMU". Saat itu juga perlahan-lahan mata Raja mulai melihat cahaya dan makin lama makin terlihat jelas sekelilingnya dan badai pun reda. Mata sang Raja pun pulih seperti sedia kala. Raja pun menghadap ke arah Timur, mengangkat tangannya ke langit, dan menyembah Allah yang disembah Bunda Nina dengan berurai air mata.
Di gunung itulah kelak Raja Mirian membangun sebuah Gereja untuk mengenang kejadian ini.

Dalam perjalanan pulang menuju istananya, di sepanjang jalan sang Raja selalu berteriak kepada rakyatnya untuk menyembah Tuhan yang disembah Bunda Nina. Sebelum ke istana mampirlah Raja menuju gubuk Bunda Nina, di hadapan Bunda Nina Raja tersungkur dan menangis sejadi-jadinya sambil berkata "Ya Ibu, ajarilah aku dan buatlah aku layak untuk menyembah Allahmu". Melihat ketulusan hati Raja menangis pulalah Bunda Nina bersama-sama sang Raja oleh karena begitu besarnya sukacita beliau. Sejak saat itulah Bunda Nina dianggap oleh rakyat Georgia sebagai Bunda mereka, Orang Kudus yang telah membawa pencerahan bathin bagi negeri mereka. Tradisi Gereja Orthodox Armenia menganggap beliau setara dengan para Rasul.

Bunda Nina dimakamkan di Bodbe di wilayah timur negeri itu, hal tersebut sesuai pesannya untuk dimakamkan ditempat dimana beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Selama sisa hidupnya beliau tak henti-hentinya mengunjungi seluruh pelosok negeri itu untuk mengabarkan Injil Kristus serta menyembuhkan orang-orang sakit maupun kerasukan, seluruh rakyat beserta Rajanya sangat mencintai beliau. Di tempat Bunda Nina dimakamkan dibangunlah suatu biara oleh Raja untuk mengenang jasa Bunda Nina terhadap negeri itu. Bunda Nina meninggal sekitar tahun 332 tanggal 14 Januari menurut Kalender Julian yang dipakai Gereja Orthodox.



Diperingati setiap tanggal 14 Januari Kalender Julian