St. Euthymius Agung |
Janasuci
Euthymius Agung
Bapak
Euthymius lahir sekitar tahun 377 pada masa pemerintahan Kaisar Gratianus
(Flavius Gratianus Augustus, memerintah tahun 367-383) di kota Melitine sebuah
kota kuno di Armenia (sekarang adalah kota Malatya wilayah Turkey). Ayahnya
bernama Paulus (Paul) dan Ibundanya bernama Dionysia, mereka berdua adalah
pengikut Kristus sejati. Kedua orang tuanya lama tidak memiliki anak, sehingga
mereka selalu berdoa di Gereja Santo Polyeuctus agar dikaruniai seorang anak.
Suatu ketika saat mereka berdoa, mereka mendapat penglihatan seorang Malaikat
Tuhan mendatangi mereka dan berkata : "Berbahagialah..!, Oleh karena
kelahiran anak kalian seluruh bidat akan lenyap, dan Damai Semesta akan
meliputi Gereja Tuhan". Oleh karena itulah kedua orang tua beliau menamai
Euthymius yang berarti berbahagia.
Ketika
ayahanda beliau meninggal, ibunda beliau menitipkannya kepada saudaranya yang
bernama Eudoxius yang kemudian membawa beliau kepada Eutroios, seorang Uskup di
kota Melitine. Dalam asuhan Uskup Eutroios inilah Bapak Euthymius menjadi
seorang Presbyter. Beliau sangat pandai dalam hal Literatur Gereja dan juga
berbakat dalam menjalani kehidupan asketik. Bapak Euthymius kemudian menjadi
seorang Biarawan yang mana mendapat kepercayaan dari Uskup Eutroios untuk
mengurus Biara-Biara yang ada di kota tersebut. Beliau tidak juga sering
mengunjungi Santo Polyeuctus tempat dimana kedua orang tua beliau selalu berdoa
dulu untuk memohon seorang anak. Salah satu kebiasaan Bapak Euthymius adalah
selalu mengundurkan diri ke padang gurun atau padang belantara saat masa
Pra-Paskah untuk menjalani puasa.
Pada
saat usia beliau 29 tahun beliau pergi ke suatu tempat dekat Yerusalem. Di situ
ada sebuah Lavra (salah satu jenis Biara) bernama Tharan, tinggalah beliau di
situ untuk menjalani kehidupan asketisnya. Di Lavra tersebut beliau bertetangga
dan bersahabat dengan seorang pertapa bernama Janasuci Theoctistus. Selama di
Lavra beliau hidup dengan menjual keranjang buatan tangan beliau. Kebiasaan
beliau pun tetap berlanjut, yaitu setiap puasa Pra-Paskah selalu menyingkir ke
padang gurun untuk melakukan puasanya. Saat itulah beliau menemukan tempat yang
cocok dan lebih sunyi untuk menjalani asketisnya, sebuah gua di gunung terletak
diantara Yerusalem dan Yeriko. Beliau dan temannya yaitu Bapak Theoctistus
pergi ke goa tersebut untuk menjalani asketisnya.
Suatu
saat seorang gembala bersama kawanan ternaknya melintasi tempat tersebut dan
melihat ada dua orang sedang bertapa di goa tersebut, maka saat gembala
tersebut kembali ke desanya, dia menceritakannya kepada penduduk desa. Tidak
lama setelah itu orang-orang desa mulai berdatangan membawa kerabat mereka yang
sakit kepada Bapak Euthymius dan Theoctistus untuk memohon doa kesembuhan.
Mereka pun sembuh oleh doa-doa kedua Janasuci tersebut. Maka tersiarlah kabar
tentang hal ini sampai ke seluruh penjuru negeri. Pada suatu hari datanglah
seorang Kepala Suku dari tanah Arab bernama Asfibit (Aspebet) yang memiliki
anak sedang sakit parah dan hampir mati yang bernama Tiribun (Terebon) memohon
kepada sang Janasuci untuk didoakan supaya sembuh. Bapak Euthymius pun berdoa
untuknya dan sembuhlah dia. Tidak lama setelah itu Asfibit menerima Kristus dan
menyerahkan dirinya dibaptis oleh Bapak Euthymius dan diberi nama Baptis
Petrus, maka seluruh suku Asfibit pun juga mengikuti jejak Kepala sukunya.
Kelak Asfibit menjadi Uskup bagi sukunya dan tanah arab. Demikianlah sejak
menjalani kehidupan asketisnya di goa tersebut, Bapak Euthymius banyak
melakukan mujizat kesembuhan kepada orang-orang yang membutuhkan, kisah tentang
Bapak Euthymius dan Theoctistus makin menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Maka
makin hari makin ramai goa tempat mereka, sehingga Bapak Euthymius memutuskan
pergi untuk menemukan tempat baru, beliau menyukai kesunyian dimana adalah
tempat ideal menjalani kehidupan asketisnya. Berjalanlah beliau menyusuri
padang gurun dan padang belantara, sampailah beliau kepada sebuah goa dimana
Daud pernah bersembunyi dari kejaran Raja Saul dan tentaranya. Di tempat itulah
beliau melanjutkan asketisnya, dan mempertobatkan banyak biarawan kaum
Manikeisme (Manichaeism) dan menjadikan mereka muridnya. Di tempat ini juga
beliau sempat mendirikan Gereja. Waktu pun berlalu, orang-orang dari segala
penjuru negeri pun menemukan tempat beliau yang baru, kembali mereka berbondong-bondong
mengunjungi tempat tersebut untuk mendapatkan mujizat dari beliau. Maka Bapak
Euthymius melakukan pula banyak mujizat kesembuhan bagi orang-orang sakit dan
mengusir roh jahat dari tubuh orang-orang yang kerasukan.
Makin
ramailah tempat tersebut sehingga Bapak Euthymius memutuskan kembali ke Lavra
dimana beliau bertemu dengan Bapak Theoctistus, sedang Bapak Theoctistus
sendiri masih tetap tinggal di goa yang pertama kali mereka temukan, hanya
seminggu sekali beliau ke Lavra untuk mengikuti ibadah dan menerima komuni. Di
Lavra tersebut beliau diminta untuk mengurusnya, namun dalam hati beliau lebih
suka menjalani hidup asketis di tempat yang sunyi dan tenang ketimbang terlibat
dalam urusan organisasi. Maka datanglah suatu penglihatan kepada beliau, TUHAN
mengatakan kepada beliau : "Janganlah menolak orang-orang yang datang
kepadamu demi keselamatan jiwa mereka!", akhirnya beliau pun mau mengambil
tanggung jawab tersebut. Pada tahun 429 Patriark Juvenalis dari Yerusalem
mengkonsekrasi Lavra tersebut dan menempatkan para Presyter maupun Diakon. Saat
itu beliau berusia sekitar 52 tahun.
Suatu
ketika ada serombongan orang Armenia berjumlah kira-kira 400 orang sedang
menuju Yordania, mereka lewat Lavra Tharan tersebut dan menumpang untuk
beberapa lama karena mereka kehabisan bekal dan membutuhkan tempat berlindung.
Bapak Euthymius pun menerima mereka, namun beberapa biarawan mengeluh karena
persediaan makanan mereka tidak cukup bila menerima rombongan orang-orang
Armenia tersebut. Namun dengan penuh welas asih Bapak Euthymius menyuruh para
biarawannya untuk memberi makan dan memelihara mereka sampai mereka siap untuk
berangkat melanjutkan perjalanan mereka. Saat itu Lavra memang sangat miskin,
persediaan makan Lavra tersebut sangat minim bahkan untuk memelihara kehidupan
para biarawan yang tinggal di situ. Bapak Euthymius pergi untuk melihat gudang
tempat persediaan, dilihatnyalah hampir kosong. Namun oleh doa-doa beliau
setiap hari seluruh orang di Lavra tersebut bisa makan dan minum dengan puas
dari persediaan makan mereka, dan tidak pernah kelaparan. Tiga bulan berlalu,
Rombongan orang Armenia tersebut telah siap berangkat, mereka pun masing-masing
telah mendapat perbekalan penuh, sedangkan gudang penyimpanan Lavra tersebut
juga sangat penuh sehingga tidak bisa ditutup pintunya. Berkat doa-doa Bapak
Euthymius, Allah memelihara Lavra tersebut beserta orang-orang yang tinggal di
dalamnya, kejadian yang persis dialami seorang janda di Sarfat pada kitab 1
Raja-raja 17:7-24.
Pada
saat umur beliau 82 tahun beliau menerima seorang biarawan muda bernama Saba
(Sabbas the Sanctified). Beliau membawanya untuk berada dalam bimbingan
temannya yaitu Bapak Theoctistus. Bapak Euthymius telah memprediksi bahwa
biarawan muda ini kelak akan memegang tanggung jawab lebih dari saudara-saudara
yang lain dalam biara tersebut. Baik Bapak Euthymius maupun Bapak Theoctistus
sangat mengasihi biarawan muda tersebut. Pada saat usia beliau kira-kira 90
tahun Bapak Theoctistus sakit keras. Maka Bapak Euthymius pun mengunjungi biara
Bapak Theoctistus dan menemani sahabatnya tersebut hingga meninggal, setelah
selesai penguburannya beliau kembali ke Lavra. Tujuh tahun kemudian Bapak
Euthymius meninggal dalam damai, tepatnya pada tanggal 20 Januari 473.
Diperingati
setiap tanggal 20 Januari