Adalah
suatu Ajaran / Pemahaman dimana Yesus memiliki 2 kodrat, yaitu : kodrat sebagai
manusia sejati, sekaligus kodrat sebagai Allah yang sejati, namun memiliki satu
kehendak (θεληση) saja yaitu : satu kehendak insani-Ilahi. Dalam pandangan ini
kehendak manusiawinya adalah satu dengan kehendak Ilahinya. Tentu saja ajaran
ini memiliki kesalahan yang telak, dimana pada kenyataannya Yesus pun memiliki
kehendak insaninya yang benar-benar insani seperti : makan & minum, hal ini
sebagai konsekuensi kodratnya sebagai manusia sejati. Kristus pun juga memiliki
kehendak Ilahi yang benar-benar Ilahi, yaitu : memberitakan Injil dan taat
hingga mati di kayu salib sebagai korban tebusan, hal ini karena kodratnya
sebagai Sang Firman Allah sendiri. Ajaran tentang satu kehendak ini dimunculkan
dengan maksud menjembatani kelompok Monophysite (Yesus memiliki 1 kodrat) dan
Dyophisite (Yesus memiliki 2 kodrat) yang muncul pasca Konsili Kalsedon tahun
451 yang memisahkan antara Gereja Alexandria, Konstantinopel, dan Antiokhia menjadi
2 golongan.
Sejarah
Konsili
Kalsedon tahun 451 menghasilkan rumusan bersama bahwa Yesus memiliki 2 kodrat.
yaitu : kodrat manusiawi, dan sekaligus kodrat Ilahi, yang mana kodrat ini ada
dalam satu Diri Yesus, yang mana kedua kodrat itu tidak saling tercampur baur,
dengan kata lain adalah Yesus memiliki 2 kodrat (Physites) dalam satu
Hyphostasis. Hasil dari Konsili tersebut mengakibatkan Gereja yang tetap
memegang rumus 1 kodrat memisahkan diri, selanjutnya mereka disebut Gereja Non
Kalsedon atau Oriental. Maka hal ini pun berdampak di tingkat masyarakat awam
yang juga terbelah menjadi 2 golongan tersebut.
Pada
saat Kaisar Heraklius ( Flavius Heraclius Augustus, memerintah tahun 610-641)
berkuasa, demi kepentingan politik terutama untuk mempererat dan memperkuat
hubungan diplomatik dengan Kerajaan Persia yang telah ditaklukkannya pada tahun
628, maka dibuatlah suatu strategi supaya rakyat Persia loyal kepada Kerajan
Byzantium. Berkonsultasilah sang Kaisar dengan Patriark Konstantinopel waktu
itu adalah Patriark Sergius. Dengan pertimbangan bahwa golongan Monophisite
berkembang menyebar ke wilayah Persia, sedang mayoritas rakyat Byzantium
menganut paham Dyophisite, maka upaya menyatukan rakyat adalah dengan
menyatukan Paham / Ajaran mereka tentang doktrin teologi yang menjembatani
kedua golongan tersebut.
Maka
Patriark Sergius berusaha memikirkan kesatuan dari kedua kodrat Yesus,
muncullah pemikiran pertama tentang Monoenergi, bahwa Yesus memiliki 2 kodrat
akan tetapi 1 energi. Sang Patriark pun membawa pikiran ini ke hadapan para
Patriark lain, namun dalam banyak pembahasan antara mereka maka doktrin
Monoenergi pun ditolak oleh Patriark Sophronius dari Yerusalem dan Paus
Honorius I Patriark Roma. Ide Patriark Sergius hanya dipertimbangkan oleh du
Patriark yang lain yaitu : Cyrus dari Alexandria, dan Athanasius dari Antiokhia
Syria. Ketiga Patriark terus melanjutkan membahas tentang formula penyatuan
dari kodrat Yesus. Maka pada tahun 638 tercapailah suatu pemahaman tentang
kesatuan dari kodrat Yesus adalah satu kehendak.
Formula
satu kehendak yang dirumuskan untuk menjembatani penganut Monophisite dan
Dyophisite digunakan oleh Kaisar Heraklius untuk mengeluarkan suatu Dekrit yang
terkenal dengan nama "Εκθεσις της Πιστεως" (Penjelasan Iman) atau
sering disebut dengan Ekthesis pada tahun 638. Dekrit ini didukung oleh
Patriark Sergius dan diterima pula oleh 3 Patriark yang lain, saat itu adalah :
Yohanes II dari Antiokhia Syria (menggantikan Patriark Athanasius I Gammolo),
Cyrus dari Alexandria, pengganti Sophronius dari Yerusalem (meninggal sebelum
rumusan doktrin keluar). Maka satu-satunya yang menolak doktrin satu kehendak
adalah Kepatriarkahan Roma, Paus Honorius I (mendukung doktrin satu kehendak)
juga meninggal di tahun itu dan baru digantikan oleh Paus Severinus dua tahun
kemudian oleh karena tekanan pemerintahan Byzantium oleh karena menolak doktrin
tersebut. Tidak lama setelah dikeluarkannya Dekrit Ekthesis, Patriark Sergius
meninggal dunia pula di tahun yang sama dan digantikan oleh Pirus (Pyrrhus of
Constantinople). Maka dengan kondisi ini Kaisar merasa memiliki otoritas
memaksakan Dekrit berlaku kepada semua Umat Kristen di bawah pemerintahannya.
Konsili
Ekumenis Ke-6 di Konstantinopel Tahun 680
Saat
kematian Kaisar Konstan II (Heraclius Constantinus Augustus, memerintah tahun
641-668) anak dari Kaisar Heraklius, tahta diwariskan kepada Konstantinus IV
(Flavius Constantinus Augustus, memerintah tahun 668-685), anak sulung Kaisar
Konstan II. Saat itu Paus Vitalianus (657-672) yang mendukung Kaisar Konstantinus
IV untuk bertahta dan mengalahkan pihak-pihak yang mendalangi usaha perebutan
kekuasaan yang membuat Kaisar Konstan II tewas di Sirakusa, menyatakan bahwa
dirinya dan segenap Gereja Roma memegang ajaran bahwa Yesus memiliki dua
kehendak. Maka pernyataan ini pun ditentang oleh Patriark Theodorus I (677–679)
dari Konstantinopel dan Patriark Macarius (656–681) dari Antiokhia, serta
meminta permasalahan tentang Monothelitisme dan para penentangnya diselesaikan
dalam sebuah Konsili Gereja.
Pada
tahun 680 diadakanlah suatu Konsili Ekumenikal di Konstantinopel yang mana
difasilitasi oleh Kaisar Konstantinus IV. Saat itu Gereja Roma diwakili oleh
Patriark Agathus (678-681) adalah promotor dari perlawanan terhadap paham
Monothelitisme. Gereja Konstantinopel diwakili Patriark George I (679–686) dan
bertindak sebagai pemimpin dari sidang di Konsili. Gereja Antiokhia Syria
diwakili oleh Patriark Macarius. Sedangkan untuk Gereja Alexandria dan
Yerusalem ditunjuk perwakilan masing-masing oleh pihak Kerajaan Byzantium, hal
ini karena di wilayah tersebut sedang diinvasi tentara Islam sehingga posisi
Patriark masing-masing sedang kosong.
Konsili
pun berlangsung panjang dari 7 November 680 sampai 16 September 681. Dalam
pembahasan yang sangat mendalam maka terlihatlah kelemahan mendasar dari
doktrin satu kehendak dan tidak sesuai Ajaran Rasuli, sehingga mayoritas
peserta mulai menolak paham tersebut. Patriark Macarius yang mati-matian
membela doktrin tersebut pun akhirnya kehabisan referensi dalam argumentasinya,
dan akhirnya karena masih tetap mempertahankannya meski dalilnya lemah,
akhirnya dia digulingkan paksa oleh pendukungnya sendiri. Maka Gereja Antiokhia
sepakat menolak doktrin satu kehendak meski harus menggulingkan Patriarknya.
Karena mayoritas telah menolak ajaran satu kehendak, maka sebagai pemimpin
sidang, Patriark George I pun menerima apa yang menjadi keputusan bersama,
sehingga Gereja Konstantinopel pun menolak paham tersebut. Maka dihasilkanlah
kesepakatan akhir yang mutlak menolak paham satu kehendak yang dipelopori
Patriark Sergius dari Konstantinopel dan Paus Honorius I dari Roma. Dalam
Konsili ini juga mengakui jasa Bapak Maksimus dan Paus Martinus dalam membela
Iman Rasuliah. Konsili Ekumenikal ke-6 di Konstantinopel ini menetapkan
anathema terhadap ajaran Monothelitisme.