Bunda Nina


St. Nina


Janasuci Bunda Nina
Sang Pencerah Bangsa Georgia

Bunda Nina lahir di Cappadocia sebagai putri tunggal pasangan Zabulon (Zebulon) dan isterinya Sosana (Susanna) sekitar tahun 280. Zabulon sang ayah adalah seorang tentara Romawi berpangkat Jenderal, yang juga masih memiliki hubungan kerabat dengan Janasuci George dari Lydda yang menjadi martir tahun 303 dalam masa penganiayaan besar oleh Pemerintahan Kaisar Diocletian (Gaius Aurelius Valerius Diocletianus Augustus, tahun 244-311). Sosana sang ibu memiliki adalah adik dari Patriarkah Yerusalem Juvenal (Houbnal). Pada saat Bunda Nino berusia 12 tahun mereka sekeluarga pindah ke Yerusalem. Tidak lama kemudian sang ayah memutuskan untuk menjadi seorang rahib dan mendapat tonsur sebagai biarawan untuk melayani Tuhan di padang belantara daerah Yordania. Keluarga tersebut sepakat menjual seluruh hartanya. Sedang sang ibu dari Bunda Nina ditahbiskan menjadi seorang Diakonis oleh kakaknya sang Patriarkah Yerusalem dan melayani orang orang miskin dan sakit, dan menitipkan Bunda Nina kepada seorang wanita tua bernama Sara Niaphor (Nianfora) atau yang membesarkan Bunda Nino dalam Iman Kristen.

Bunda Nina tumbuh menjadi seorang gadis yang cinta akan Tuhan. Setiap hari tak lepas dari doa-doa dan pembacaan Firman Tuhan. Suatu saat beliau tertarik akan kisah penyaliban Kristus yang mana beliau tertarik akan Jubah Yesus yang terkoyak saat disalibkan, dimanakah Jubah tersebut berada...? Beliau percaya bahwa benda suci tidak akan hilang. Sang ibu angkat bercerita kepada Bunda Nina bahwa menurut cerita tradisi ketika para prajurit Roma membuang undi untuk memperebutkan jubah Yesus, jatuhlah pada seorang prajurit yang berasal dari Iberia (sekarang adalah Georgia) dan prajurit itu membawanya pulang ke kampung halamannya di kota Mtskheta di wilayah Kartli, Iberia. Letaknya adalah di sebelah Timur Laut Yerusalem. Sejak mendengar cerita dari sang ibu angkat tersebut Bunda Nina selalu berdoa siang dan malam berharap memiliki kesempatan pergi ke Iberia dan menemukan Jubah Yesus untuk menghormatinya, serta mengabarkan Nama Kristus kepada orang-orang Kartli yang belum mengenal Tuhan.

Sampai pada suatu saat Tuhan menjawab doa beliau melalui suatu penglihatan dalam mimpinya. Dalam mimpinya itu Bunda Maria sang Theotokos menemui beliau dan menyuruhnya pergi menuju Iberia untuk memberitakan Injil tempat yang seharusnya dulu Bunda Maria harus kesana namun belum sempat melaksanakannya. Anaknya, yaitu Yesus akan melimpahkan RahmatNya serta PerlindunganNya, dan juga mengaruniakan Hikmat Kebijaksanaan sehingga orang-orang akan mendengarkan apa yang dikatakan Bunda Nina. Namun terbersit keraguan dalam diri Bunda Nina, beliau merasa dirinya hanya wanita lemah, bagaimana bisa mengambil tanggung jawab yang sedemikian besar, apakah semuanya ini nyata ataukah hanya mimpi belaka. Namun Bunda sang Theotokos menjawab beliau dengan memberikan sebuah salib yang dianyam dari batang pohon anggur sebagai tanda bahwa Bunda Nina akan diberi perisai untuk melindungi beliau dari musuh yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Saat beliau terbangun terkejutlah beliau mendapati tangannya sedang menggenggam sebuah salib dari batang anggur persis seperti dalam mimpi. Berurailah Bunda Nina dengan air mata dan mengikat salib itu dengan helai-helai rambutnya supaya lebih kuat.

Menurut tradisi Rasuliah Setelah Yesus naik ke Sorga, para Rasul haruslah tinggal di Yerusalem untuk menunggu Sang Penghibur yang dijanjikan. Mereka berunding untuk menentukan kemana mereka harus memberitakan Injil Kristus. Maka mereka sepakat untuk membuang undi untuk menentukan kemana Allah mengirim masing-masing mereka sesuai keinginanNya, hal ini sesuai tradisi Yahudi. Saat undi dilemparkan untuk Bunda Maria Sang Theotokos maka ditunjukkanlah Iberia atau yang disebut Georgia sekarang. Sesudah peristiwa Pentakosta Para Rasul berangkat ke wilayah misinya masing-masing sesuai kesepakatan melalui undi. Bunda Maria juga bersiap untuk menuju Iberia, akan tetapi di tengah jalan Bunda Theotokos ditahan langkahnya oleh Malaikat Allah dan menyuruhnya untuk tetap di Yerusalem. Misi yang tertunda ini digenapi tiga abad setelahnya, saat Bunda Theotokos mengirim Bunda Nina untuk mengerjakan misinya yang belum terlaksana.

Setelah mendapat penglihatan tersebut, Bunda Nina segera memberitahukan kepada pamannya yang adalah Patriarkah Yerusalem. Maka sang paman memberkati Bunda Nina dan membiarkannya ke Iberia. Dalam perjalanannya saat singgah di kota Roma, beliau bertemu dengan dengan Rhipsimia (Hripsime) seorang biarawati yang cantik jelita di bawah asuhan kepala biarawati Gaiana (Gayane). Pada masa itu Kaisar Diocletian sangat kejam terhadap orang-orang Kristen dan menandatangani dekrit pembersihan terhadap para pengikut ajaran Yesus. Saat itu Kaisar jatuh hati kepada Rhipsimia dan meminta untuk menikahinya, namun Rhipsimia menolaknya dan tetap mempertahankan dirinya sebagai biarawati. Untuk menghindari kemarahan dan kekejaman kaisar, maka Rhipsimia, Gaiana serta para biarawati yang diasuhnya bersama-sama dengan Bunda Nina melarikan diri menuju Vagarshapat (Echmiadzin) di wilayah Armenia. Jumlah mereka satu rombongan sekitar 53 orang, data lain mengatakan mereka 37 orang.

Namun Kaisar Diocletian berhasil mengetahui kemana mereka melarikan diri. Sang Kaisar segera mengirim seorang pembawa untuk menemui Raja Armenia yang bernama Tiridates III (Tahun 250-330) meminta bantuan untuk mengisolasi dan menjaga agar rombongan Rhipsimia tidak kabur, dan akan membawa pulang Rhipsimia untuk dijadikan istrinya. Maka Raja Tiridates bersedia melakukannya namun setelah dia melihat Rhipsimia, sang Raja pun akhirnya juga jatuh hati dan berniat menjadikannya menjadi istrinya. Rhipsimia menolaknya dan tetap mempertahankan dirinya sebagai biarawati. Timbullah amarah Raja dan memutuskan untuk menangkap, serta menyiksa mereka dan menjatuhinya dengan hukuman mati di tempat. Secara ajaib Bunda Nina selamat dari penangkapan tersebut, seperti ada tangan yang tak terlihat yang menuntunnya menuju semak-semak bunga mawar liar yang belum berbunga. Dari situ Bunda Nina melihat semua apa yang terjadi pada rombongan biarawati tersebut. Dengan hati yang terguncang dengan apa yang sedang terjadi di depan matanya beliau mengangkat tangannya dan berdoa. Maka kelihatanlah rombongan Malaikat dan para penghuni Sorga turun dari langit menjemput jiwa-jiwa para biarawati yang terbunuh tersebut. Malaikat tersebut mengatakan kepada beliau untuk tetap tabah dan menyuruhnya berangkat menuju utara, dimana disana akan ada tuaian besar tetapi belum ada pekerjanya.

Sesuai dengan apa yang disampaikan Malaikat tersebut, Bunda Nina melanjutkan perjalanannya menuju utara, maka sampailah beliau di Iberia. Tibalah beliau di sungai Kura dekat desa Khertvisi, yang mengalir dari barat menuju ke tenggara, ke Laut Kaspia, dan ke seluruh Iberia. Di sungai tersebut beliau bertemu sekumpulan penggembala, mereka berbahasa Armenia, mereka memberi beliau makanan dan minuman. Bunda Nina bisa berbahasa Armenia karena ibu angkat beliau juga berbahasa Armenia. Beliau meminta petunjuk kepada para penggembala tersebut arah menuju kota Mtskheta. Para penggembala tersebut yang ternyata juga berasal dari Mtskheta menujukkan arah ke kota tersebut adalah searah dengan menuruni sungai ini turun sejauh itulah kota Mtskheta terletak.

Sebelum melanjutkan perjalanan, beliau beristirahat sejenak sembari timbul gejolak dalam pikiran beliau, apakah Tuhan benar-benar menyertainya? apakah hasil dari semua yang telah dilaluinya? apakah semuanya ini adalah suatu hal yang sia-sia? memikirkan ini Bunda Nina sampai tertidur. Dalam tidurnya beliau bermimpi seseorang laki-laki berambut panjang dengan berpakaian megahnya serta tangannya membawa sebuah gulungan kitab, dibukanyalah gulungan itu dan muncullah tulisan ayat-ayat. Bunda Nina terbangun dan alangkah terkejutnya didapatinya gulungan kitab tersebut ditangannya dan ketika dibuka telah tertulis ayat-ayat persis seperti dalam mimpinya. Maka dengan penuh semangat beliau bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya.

Maka sampailah beliau di kota Urbnisi, sebuah kota kuno di Negeri orang-orang Kartlian tersebut. Di kota itu Bunda Nina tinggal kurang lebih selama satu bulan tinggal bersama dengan orang-orang Yahudi di tempat tersebut. Sampai suatu saat ketika banyak orang yang berencana menuju kota Mtskheta untuk memuja patung Dewa Armazi, beliau memutuskan untuk ikut dalam rombongan mereka. Saat akan mendekati kota Mtskheta, mereka bertemu rombongan Raja Mirian (Mirian III, tahun 306–337) dan Ratu Nana yang sedang menuju puncak gunung di seberang kota itu untuk memuja patung Dewa Armazi. Maka rombongan beliau pun bergabung dengan rombongan Raja dan Ratu.

Sampailah di puncak gunung dimana terdapat altar dan patung Dewa Armazi serta bangunan-bangunan seperti candi-candi. Patung tersebut berpenampilan laki-laki bertubuh tinggi besar terbuat dari tembaga berlapis emas, dipakaikan zirah dan penutup kepala dari emas, matanya satu terbuat dari rubi dan satunya dari zamrud dengan kualitas yang sangat kemilau. Di sebelah kanan terdapat patung emas kecil bernama Katsi, di sebelah kiri terdapat patung perak bernama Gaim. Semua orang yang digunung itu begitu menghormati patung-patung tersebut. Para imam mereka mempersembahkan kurban darah, terdengar terompet dan simbal bersautan, orang-orang pun bersujud sambil gemetaran di hadapan patung yang tak bernyawa tersebut.

Melihat pemandangan ini bergejolaklah hati Bunda Nina, sambil menengadah dan berdoa kepada Allah. Bunda memohon dengan segenap hatinya sambil menangis agar Allah mengasihani orang-orang tersebut, dan memberikan pencerahan, dan hikmat marifat untuk melepaskan rakyat Iberia dari kegelapan mereka. Biarlah Allah mengaruniakan bangsa tersebut keselamatan di dalam Nama Yesus, dan mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan berbalik menyembah Allah. Dan biarlah dirinya diberi kesempatan untuk melihat Tangan Tuhan menghancurkan patung-patung tersebut. Belum selesai berdoa ketika tiba-tiba muncul awan badai dari barat bergerak sangat cepat melintasi sepanjang sungai Kura menuju gunung menuju gunung tersebut. Semua orang berlarian berlindung pada celah-celah batu di gunung itu. Awan badai itu berhenti tepat diatas gunung, diatas altar dan bangunan-bangunan penyembahan patung Dewa Armazi. Awan badai itu melontarkan ledakan-ledakan dahsyat guntur-guntur dan petir-petirnya yang mengenai seluruh bangunan dan patungnya sehingga hancur menjadi debu dan kerikil. Kemudian muncullah banjir bandang yang tumpah dari puncak gunung itu seperti air terjun yang sedang banjir menyapu semua sisa-sisa reruntuhan altar, bangunan candi-candi, serta patung-patungnya. Setelah kejadian itu goyahlah iman para penduduk seluruh negeri Iberia karena Dewa yang mereka sembah hancur dan lenyap disapu badai dan banjir.

Bunda Nina pun sampailah di kota Mtskheta, beliau yang berpenampilan seorang pengembara mendekati rumah seorang tukang kebun kerajaan. Anastasia istri dari tukang kebun tersebut menyambutnya dengan senang hati dan sangat menghormati beliau. Mereka meminta beliau tinggal bersama mereka karena mereka sangat kesepian karena tidak memiliki anak. Sesuai keinginan Bunda Nina, sang tukang kebun membangun sebuah gubuk kecil di pojok taman rumahnya untuk Bunda Nina. Di gubuk itulah Bunda menghabiskan hari-harinya tidak lepas dari doa-doa dan lantunan nyanyian mazmur, dan ditempatkanlah salib pemberian Bunda Maria Sang Theotokos disitu. Di dalam gubuk itu juga Bunda Nina mendoakan banyak orang-orang sakit dan akhirnya sembuh. Setahun kemudian pasangan tersebut memiliki anak dan mereka adalah yang pertama kali menjadi pengikut Kristus di negeri itu. Berita tentang mujizat dan pengajaran-pengajaran Bunda Nina segera menyebar dengan cepat ke seluruh negeri Iberia.

Pada awalnya Raja Mirian dan Ratu Nana sangat tidak suka dengan Bunda Nina karena mengajarkan tentang Tuhan yang tidak dikenal bangsa Iberia dan membuat banyak rakyatnya menjadi pengikutnya. Namun meskipun begitu sang Raja tidak berlaku kejam ataupun menghalangi pemberitaan Injil, akan tetapi Ratu sangat membenci orang Kristen karena sangat membela Dewa-Dewa yang ia percayai. Begitu bencinya sehingga kejiwaan sang Ratu mulai terganggu dan menjadi sosok wanita yang kejam terhadap orang di sekelilingnya. Sampai suatu saat Ratu jatuh sakit dan makin hari makin parah. Saat kondisi Ratu mulai sekarat, para pelayannya yang sebagian telah menjadi Kristen memohon Bunda Nina untuk menyembuhkannya. Bunda Nina menjawab jikalau Ratu ingin menjadi pulih dan baik kembali keadaannya baik raga maupun jiwanya hendaklah datang ke gubuk beliau, dan menerima kesembuhan oleh kekuatan Kristus. Hal tersebut sebagai ujian akan kerendahan hati sang Ratu apakah dia mau menerima Yesus sebagai Juruselamat atau tidak, akhirnya Ratu pun bersedia mendatangi gubuk Bunda Nina. Dalam gubuk Ratu berbaring, sedangkan Bunda Nina berlutut sambil berdoa, lalu mengambil salib pemberian Sang Theotokos dan menempelkannya kepada Ratu Nana di kepala, kaki, lalu kedua bahu membentuk tanda salib, seketika itu sembuhlah Ratu Nana baik sakit raga maupun jiwanya.

Sejak saat itu Ratu menerima Kristus sebagai Juruselamat, dan sangat baik terhadap Bunda Nina. Ratu menganggap beliau adalah penasehat spiritual dalam kerajaannya bahkan layaknya teman. Ratu Nana juga belajar tentang Iman Kristen banyak dari Penatua Abiathar (Abyatar) dan anaknya Sidonia. Abiathar pada mulanya adalah seorang Imam Yahudi, putrinya lebih dulu mengikut Kristus, tidak lama setelah itu Abiathar pun mengikuti jejak putrinya oleh karena bertemu dan mendengar langsung pengajaran-pengajaran Bunda Nina mengenai ajaran-ajaran para Nabi. Sejak Ratu Nana menjadi pengikut Kristus, maka Kristen menjadi kepercayaan resmi dalam pemerintahan Kerajaan Iberia. Sementara Kerajaan Armenia yang dipimpin Raja Tiridates III telah terlebih dulu menjadi Kerajaan Kristen setelah Rajanya menjadi pengikut Kristus karena mendengar kabar mengenai banyak hal yang dilakukan Bunda Nina termasuk apa yang terjadi di puncak gunung tersebut saat Allah meluluhlantakkan altar Dewa Armazi, lagipula Raja Tiridates jadi teringat pula dengan para biarawati yang dibunuhnya.

Di sisi lain Bunda Nina mendapat secercah harapan untuk mengetahui dimana keberadaan Jubah Yesus yang dicarinya. Abhiatar mantan Imam yahudi tersebut bercerita tentang kakek buyutnya yang bernama Elioz. Saat Yesus hendak disalibkan, Elioz menerima undangan dari Imam Tinggi Yahudi bernama Annas di Yerusalem untuk menghadiri peristiwa penyaliban tersebut. Ibunda dari Elioz yang masih keturunan Imam Elias menasehatinya agar tidak ikut bersekutu dengan para pembenci Yesus yang akan dihukum mati tersebut, karena Yesus yang hendak dijatuhi hukuman mati orang Yahudi itu adalah seorang Mesias yang diceritakan para Nabi terdahulu. Ibunda Elioz meninggal pada malam paskah Yahudi itu artinya malam hari saat Yesus telah mati disalib.Elioz yang menyaksikan peristiwa penyaliban tersebut meminta Jubah Yesus yang ditanggalkan dan dijadikan taruhan para prajurit Romawi pada salah seorang dari prajurit itu yang memenangkan undi atas Jubah itu. Dibawanyalah pulang Jubah tersebut ke kota tempat tinggalnya di Mtskheta. Sesampainya dirumah, adik perempuannya yang bernama Sidonia menyambut sang kakak, saat melihat Jubah Yesus Sidonia mengambilnya dan teringatlah dengan apa yang dikatakan Almarhum Ibundanya tentang Yesus dan menceritakan pada kakaknya bahwa Ibunya telah meninggal. Sidonia menangis dan menciumi jubah tersebut dan memeluknya sangat erat, saat itu juga meninggallah Sidonia dengan mendekap erat Jubah tersebut dan tidak ada yang bisa melepaskannya. Elioz mengubur adiknya bersama Jubah Kristus yang didekapnya dengan diam-diam agar tidak seorangpun tahu kuburannya. Menurut tradisi keluarga, tempat dikuburkannya tubuh Sidonia dan Jubah Yesus itu sekarang adalah persis di bawah pohon Cedar di tengah taman Istana.

Sementara itu Raja Mirian masih ragu untuk mau menjadi pengikut Kristus. Suatu ketika datanglah seorang kerabat dari Raja Persia yang juga adalah penganut Zoroastri. Beberapa waktu tinggal di Kerajaan Iberia kerabat Raja Persia tersebut jatuh sakit sakit, seperti orang kena tenung dan kerasukan roh jahat. Raja Mirian sangat takut, jangan-jangan Raja Persia akan murka jika kerabatnya mati dan mengira Raja Mirian tidak mau mengurusnya dan mengupayakan kesembuhannya. Segera Raja mengirim utusan untuk meminta bantuan Bunda Nina untuk menyembuhkannya. Orang yang sakit itu diletakanlah di bawah pohon Cedar yang terletak di tengah-tengah taman Istana Kerajaan, dihadapkannya orang itu kearah timur, disuruhnyalah orang itu mengangkat tangan dan berkata tiga kali bahwa dia mau mengikut Kristus dan menerimanya sebagai Juruselamat. Maka terguncanglah tubuh orang itu sampai ke tanah lalu terdiam mayat dan roh jahat itu meninggalkannya, maka sembuhlah orang itu.

Maka ketakutan yang amat sangat melanda Raja Mirian. Hal ini karena kerabat Raja Persia yang sembuh tersebut telah menjadi pengikut Kristus, dia berpikir pasti Raja Persia yang penganut Zoroastri akan marah dan akan menimbulkan perang besar. Dengan kondisi yang terbeban itu Raja lalu memutuskan untuk pergi berburu bersama beberapa pengawal dan orang kepercayaannya untuk menenangkan pikiran dan menyusun strategi. Ketika pada suatu ketika sang Raja sampai di gunung Tkhoti, pikiran Raja yang kalut menyusun suatu rencana untuk membersihkan kerajaannya dari orang-orang Kristen. Orang-orang disamping Raja saat itu memanglah sangat benci kepada Orang Kristen karena membuat Dewa mereka tidak laku, dan ditinggalkan, sehingga mereka memberikan ide-ide untuk membersihkan negeri itu dari orang Kristen, serta menegakkan kembali patung Dewa Armazi. Hal ini berarti akan ada pembantaian massal, oleh karena banyak rakyatnya yang telah menjadi Kristen, termasuk Ratu. Akan tetapi Raja yang sedang kacau pikirannya karena takut menghadapi perang dengan Raja Persia tersebut akhirnya membulatkan tekad untuk melakukan niat jahatnya. Raja berteriak kencang diatas gunung itu kepada Dewanya untuk membantu melaksanakan niatnya.

Gunung Tkhoti menjadi saksi bisu akan pengakuan Raja Mirian akan Tuhan Allah yang benar, dan menjadi pengikut Kristus. Saat Raja berteriak kepada Dewanya itulah tiba-tiba muncul awan badai persis seperti di puncak gunung tempat altar Dewa Armazi dulu. Dari awan badai itu muncul kilat yang menyambar dengan dahsyatnya dang sangat silau cahayanya sehingga Raja menjadi buta saat itu juga, sedangkan guntur-gunturnya menyerakkan semua orang yang di sekitar Raja. Begitu dahsyat awan badai itu menghajar rombongan Raja. Raja berteriak-teriak memanggil-manggil Dewa-Dewanya, namun awan badai itu semakin dahsyat mengguntur dan menggelegar. Setelah beberapa waktu Raja mulai lemah dan putus asa, sedangkan Dewa-Dewa yang dia panggil tidak berbuat apa-apa, badai makin dahsyat. Dalam keputusasaan Raja mulai menyadari bahwa itu adalah hukuman atas dirinya, menyesallah dia dan memohon ampun kepada Tuhan yang disembah Bunda Nina. Terucap satu permintaan dari mulut sang Raja " Ya Allah Nina, hilangkanlah kegelapan di mataku, maka aku akan mengakuiMU dan menyembahMU". Saat itu juga perlahan-lahan mata Raja mulai melihat cahaya dan makin lama makin terlihat jelas sekelilingnya dan badai pun reda. Mata sang Raja pun pulih seperti sedia kala. Raja pun menghadap ke arah Timur, mengangkat tangannya ke langit, dan menyembah Allah yang disembah Bunda Nina dengan berurai air mata.
Di gunung itulah kelak Raja Mirian membangun sebuah Gereja untuk mengenang kejadian ini.

Dalam perjalanan pulang menuju istananya, di sepanjang jalan sang Raja selalu berteriak kepada rakyatnya untuk menyembah Tuhan yang disembah Bunda Nina. Sebelum ke istana mampirlah Raja menuju gubuk Bunda Nina, di hadapan Bunda Nina Raja tersungkur dan menangis sejadi-jadinya sambil berkata "Ya Ibu, ajarilah aku dan buatlah aku layak untuk menyembah Allahmu". Melihat ketulusan hati Raja menangis pulalah Bunda Nina bersama-sama sang Raja oleh karena begitu besarnya sukacita beliau. Sejak saat itulah Bunda Nina dianggap oleh rakyat Georgia sebagai Bunda mereka, Orang Kudus yang telah membawa pencerahan bathin bagi negeri mereka. Tradisi Gereja Orthodox Armenia menganggap beliau setara dengan para Rasul.

Bunda Nina dimakamkan di Bodbe di wilayah timur negeri itu, hal tersebut sesuai pesannya untuk dimakamkan ditempat dimana beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Selama sisa hidupnya beliau tak henti-hentinya mengunjungi seluruh pelosok negeri itu untuk mengabarkan Injil Kristus serta menyembuhkan orang-orang sakit maupun kerasukan, seluruh rakyat beserta Rajanya sangat mencintai beliau. Di tempat Bunda Nina dimakamkan dibangunlah suatu biara oleh Raja untuk mengenang jasa Bunda Nina terhadap negeri itu. Bunda Nina meninggal sekitar tahun 332 tanggal 14 Januari menurut Kalender Julian yang dipakai Gereja Orthodox.



Diperingati setiap tanggal 14 Januari Kalender Julian




Previous
Next Post