St. Nina |
Janasuci
Bunda Nina
Sang
Pencerah Bangsa Georgia
Bunda
Nina lahir di Cappadocia sebagai putri tunggal pasangan Zabulon (Zebulon) dan
isterinya Sosana (Susanna) sekitar tahun 280. Zabulon sang ayah adalah seorang
tentara Romawi berpangkat Jenderal, yang juga masih memiliki hubungan kerabat
dengan Janasuci George dari Lydda yang menjadi martir tahun 303 dalam masa
penganiayaan besar oleh Pemerintahan Kaisar Diocletian (Gaius Aurelius Valerius
Diocletianus Augustus, tahun 244-311). Sosana sang ibu memiliki adalah adik
dari Patriarkah Yerusalem Juvenal (Houbnal). Pada saat Bunda Nino berusia 12
tahun mereka sekeluarga pindah ke Yerusalem. Tidak lama kemudian sang ayah
memutuskan untuk menjadi seorang rahib dan mendapat tonsur sebagai biarawan
untuk melayani Tuhan di padang belantara daerah Yordania. Keluarga tersebut
sepakat menjual seluruh hartanya. Sedang sang ibu dari Bunda Nina ditahbiskan
menjadi seorang Diakonis oleh kakaknya sang Patriarkah Yerusalem dan melayani
orang orang miskin dan sakit, dan menitipkan Bunda Nina kepada seorang wanita
tua bernama Sara Niaphor (Nianfora) atau yang membesarkan Bunda Nino dalam Iman
Kristen.
Bunda
Nina tumbuh menjadi seorang gadis yang cinta akan Tuhan. Setiap hari tak lepas
dari doa-doa dan pembacaan Firman Tuhan. Suatu saat beliau tertarik akan kisah
penyaliban Kristus yang mana beliau tertarik akan Jubah Yesus yang terkoyak
saat disalibkan, dimanakah Jubah tersebut berada...? Beliau percaya bahwa benda
suci tidak akan hilang. Sang ibu angkat bercerita kepada Bunda Nina bahwa
menurut cerita tradisi ketika para prajurit Roma membuang undi untuk
memperebutkan jubah Yesus, jatuhlah pada seorang prajurit yang berasal dari
Iberia (sekarang adalah Georgia) dan prajurit itu membawanya pulang ke kampung
halamannya di kota Mtskheta di wilayah Kartli, Iberia. Letaknya adalah di sebelah
Timur Laut Yerusalem. Sejak mendengar cerita dari sang ibu angkat tersebut
Bunda Nina selalu berdoa siang dan malam berharap memiliki kesempatan pergi ke
Iberia dan menemukan Jubah Yesus untuk menghormatinya, serta mengabarkan Nama
Kristus kepada orang-orang Kartli yang belum mengenal Tuhan.
Sampai
pada suatu saat Tuhan menjawab doa beliau melalui suatu penglihatan dalam
mimpinya. Dalam mimpinya itu Bunda Maria sang Theotokos menemui beliau dan
menyuruhnya pergi menuju Iberia untuk memberitakan Injil tempat yang seharusnya
dulu Bunda Maria harus kesana namun belum sempat melaksanakannya. Anaknya,
yaitu Yesus akan melimpahkan RahmatNya serta PerlindunganNya, dan juga
mengaruniakan Hikmat Kebijaksanaan sehingga orang-orang akan mendengarkan apa
yang dikatakan Bunda Nina. Namun terbersit keraguan dalam diri Bunda Nina,
beliau merasa dirinya hanya wanita lemah, bagaimana bisa mengambil tanggung
jawab yang sedemikian besar, apakah semuanya ini nyata ataukah hanya mimpi
belaka. Namun Bunda sang Theotokos menjawab beliau dengan memberikan sebuah
salib yang dianyam dari batang pohon anggur sebagai tanda bahwa Bunda Nina akan
diberi perisai untuk melindungi beliau dari musuh yang terlihat maupun yang
tidak terlihat. Saat beliau terbangun terkejutlah beliau mendapati tangannya
sedang menggenggam sebuah salib dari batang anggur persis seperti dalam mimpi.
Berurailah Bunda Nina dengan air mata dan mengikat salib itu dengan helai-helai
rambutnya supaya lebih kuat.
Menurut
tradisi Rasuliah Setelah Yesus naik ke Sorga, para Rasul haruslah tinggal di
Yerusalem untuk menunggu Sang Penghibur yang dijanjikan. Mereka berunding untuk
menentukan kemana mereka harus memberitakan Injil Kristus. Maka mereka sepakat
untuk membuang undi untuk menentukan kemana Allah mengirim masing-masing mereka
sesuai keinginanNya, hal ini sesuai tradisi Yahudi. Saat undi dilemparkan untuk
Bunda Maria Sang Theotokos maka ditunjukkanlah Iberia atau yang disebut Georgia
sekarang. Sesudah peristiwa Pentakosta Para Rasul berangkat ke wilayah misinya
masing-masing sesuai kesepakatan melalui undi. Bunda Maria juga bersiap untuk
menuju Iberia, akan tetapi di tengah jalan Bunda Theotokos ditahan langkahnya
oleh Malaikat Allah dan menyuruhnya untuk tetap di Yerusalem. Misi yang
tertunda ini digenapi tiga abad setelahnya, saat Bunda Theotokos mengirim Bunda
Nina untuk mengerjakan misinya yang belum terlaksana.
Setelah
mendapat penglihatan tersebut, Bunda Nina segera memberitahukan kepada pamannya
yang adalah Patriarkah Yerusalem. Maka sang paman memberkati Bunda Nina dan
membiarkannya ke Iberia. Dalam perjalanannya saat singgah di kota Roma, beliau
bertemu dengan dengan Rhipsimia (Hripsime) seorang biarawati yang cantik jelita
di bawah asuhan kepala biarawati Gaiana (Gayane). Pada masa itu Kaisar Diocletian
sangat kejam terhadap orang-orang Kristen dan menandatangani dekrit pembersihan
terhadap para pengikut ajaran Yesus. Saat itu Kaisar jatuh hati kepada
Rhipsimia dan meminta untuk menikahinya, namun Rhipsimia menolaknya dan tetap
mempertahankan dirinya sebagai biarawati. Untuk menghindari kemarahan dan
kekejaman kaisar, maka Rhipsimia, Gaiana serta para biarawati yang diasuhnya
bersama-sama dengan Bunda Nina melarikan diri menuju Vagarshapat (Echmiadzin)
di wilayah Armenia. Jumlah mereka satu rombongan sekitar 53 orang, data lain
mengatakan mereka 37 orang.
Namun
Kaisar Diocletian berhasil mengetahui kemana mereka melarikan diri. Sang Kaisar
segera mengirim seorang pembawa untuk menemui Raja Armenia yang bernama
Tiridates III (Tahun 250-330) meminta bantuan untuk mengisolasi dan menjaga
agar rombongan Rhipsimia tidak kabur, dan akan membawa pulang Rhipsimia untuk
dijadikan istrinya. Maka Raja Tiridates bersedia melakukannya namun setelah dia
melihat Rhipsimia, sang Raja pun akhirnya juga jatuh hati dan berniat
menjadikannya menjadi istrinya. Rhipsimia menolaknya dan tetap mempertahankan
dirinya sebagai biarawati. Timbullah amarah Raja dan memutuskan untuk
menangkap, serta menyiksa mereka dan menjatuhinya dengan hukuman mati di
tempat. Secara ajaib Bunda Nina selamat dari penangkapan tersebut, seperti ada
tangan yang tak terlihat yang menuntunnya menuju semak-semak bunga mawar liar
yang belum berbunga. Dari situ Bunda Nina melihat semua apa yang terjadi pada
rombongan biarawati tersebut. Dengan hati yang terguncang dengan apa yang
sedang terjadi di depan matanya beliau mengangkat tangannya dan berdoa. Maka
kelihatanlah rombongan Malaikat dan para penghuni Sorga turun dari langit
menjemput jiwa-jiwa para biarawati yang terbunuh tersebut. Malaikat tersebut
mengatakan kepada beliau untuk tetap tabah dan menyuruhnya berangkat menuju
utara, dimana disana akan ada tuaian besar tetapi belum ada pekerjanya.
Sesuai
dengan apa yang disampaikan Malaikat tersebut, Bunda Nina melanjutkan
perjalanannya menuju utara, maka sampailah beliau di Iberia. Tibalah beliau di
sungai Kura dekat desa Khertvisi, yang mengalir dari barat menuju ke tenggara,
ke Laut Kaspia, dan ke seluruh Iberia. Di sungai tersebut beliau bertemu
sekumpulan penggembala, mereka berbahasa Armenia, mereka memberi beliau makanan
dan minuman. Bunda Nina bisa berbahasa Armenia karena ibu angkat beliau juga
berbahasa Armenia. Beliau meminta petunjuk kepada para penggembala tersebut
arah menuju kota Mtskheta. Para penggembala tersebut yang ternyata juga berasal
dari Mtskheta menujukkan arah ke kota tersebut adalah searah dengan menuruni
sungai ini turun sejauh itulah kota Mtskheta terletak.
Sebelum
melanjutkan perjalanan, beliau beristirahat sejenak sembari timbul gejolak
dalam pikiran beliau, apakah Tuhan benar-benar menyertainya? apakah hasil dari
semua yang telah dilaluinya? apakah semuanya ini adalah suatu hal yang sia-sia?
memikirkan ini Bunda Nina sampai tertidur. Dalam tidurnya beliau bermimpi
seseorang laki-laki berambut panjang dengan berpakaian megahnya serta tangannya
membawa sebuah gulungan kitab, dibukanyalah gulungan itu dan muncullah tulisan
ayat-ayat. Bunda Nina terbangun dan alangkah terkejutnya didapatinya gulungan
kitab tersebut ditangannya dan ketika dibuka telah tertulis ayat-ayat persis
seperti dalam mimpinya. Maka dengan penuh semangat beliau bangkit berdiri dan
melanjutkan perjalanannya.
Maka
sampailah beliau di kota Urbnisi, sebuah kota kuno di Negeri orang-orang
Kartlian tersebut. Di kota itu Bunda Nina tinggal kurang lebih selama satu
bulan tinggal bersama dengan orang-orang Yahudi di tempat tersebut. Sampai
suatu saat ketika banyak orang yang berencana menuju kota Mtskheta untuk memuja
patung Dewa Armazi, beliau memutuskan untuk ikut dalam rombongan mereka. Saat
akan mendekati kota Mtskheta, mereka bertemu rombongan Raja Mirian (Mirian III,
tahun 306–337) dan Ratu Nana yang sedang menuju puncak gunung di seberang kota
itu untuk memuja patung Dewa Armazi. Maka rombongan beliau pun bergabung dengan
rombongan Raja dan Ratu.
Sampailah
di puncak gunung dimana terdapat altar dan patung Dewa Armazi serta
bangunan-bangunan seperti candi-candi. Patung tersebut berpenampilan laki-laki
bertubuh tinggi besar terbuat dari tembaga berlapis emas, dipakaikan zirah dan
penutup kepala dari emas, matanya satu terbuat dari rubi dan satunya dari
zamrud dengan kualitas yang sangat kemilau. Di sebelah kanan terdapat patung
emas kecil bernama Katsi, di sebelah kiri terdapat patung perak bernama Gaim.
Semua orang yang digunung itu begitu menghormati patung-patung tersebut. Para
imam mereka mempersembahkan kurban darah, terdengar terompet dan simbal
bersautan, orang-orang pun bersujud sambil gemetaran di hadapan patung yang tak
bernyawa tersebut.
Melihat
pemandangan ini bergejolaklah hati Bunda Nina, sambil menengadah dan berdoa
kepada Allah. Bunda memohon dengan segenap hatinya sambil menangis agar Allah
mengasihani orang-orang tersebut, dan memberikan pencerahan, dan hikmat marifat
untuk melepaskan rakyat Iberia dari kegelapan mereka. Biarlah Allah
mengaruniakan bangsa tersebut keselamatan di dalam Nama Yesus, dan mengenal
satu-satunya Allah yang benar, dan berbalik menyembah Allah. Dan biarlah
dirinya diberi kesempatan untuk melihat Tangan Tuhan menghancurkan
patung-patung tersebut. Belum selesai berdoa ketika tiba-tiba muncul awan badai
dari barat bergerak sangat cepat melintasi sepanjang sungai Kura menuju gunung
menuju gunung tersebut. Semua orang berlarian berlindung pada celah-celah batu
di gunung itu. Awan badai itu berhenti tepat diatas gunung, diatas altar dan bangunan-bangunan
penyembahan patung Dewa Armazi. Awan badai itu melontarkan ledakan-ledakan
dahsyat guntur-guntur dan petir-petirnya yang mengenai seluruh bangunan dan
patungnya sehingga hancur menjadi debu dan kerikil. Kemudian muncullah banjir
bandang yang tumpah dari puncak gunung itu seperti air terjun yang sedang
banjir menyapu semua sisa-sisa reruntuhan altar, bangunan candi-candi, serta
patung-patungnya. Setelah kejadian itu goyahlah iman para penduduk seluruh
negeri Iberia karena Dewa yang mereka sembah hancur dan lenyap disapu badai dan
banjir.
Bunda
Nina pun sampailah di kota Mtskheta, beliau yang berpenampilan seorang
pengembara mendekati rumah seorang tukang kebun kerajaan. Anastasia istri dari
tukang kebun tersebut menyambutnya dengan senang hati dan sangat menghormati
beliau. Mereka meminta beliau tinggal bersama mereka karena mereka sangat
kesepian karena tidak memiliki anak. Sesuai keinginan Bunda Nina, sang tukang
kebun membangun sebuah gubuk kecil di pojok taman rumahnya untuk Bunda Nina. Di
gubuk itulah Bunda menghabiskan hari-harinya tidak lepas dari doa-doa dan
lantunan nyanyian mazmur, dan ditempatkanlah salib pemberian Bunda Maria Sang
Theotokos disitu. Di dalam gubuk itu juga Bunda Nina mendoakan banyak
orang-orang sakit dan akhirnya sembuh. Setahun kemudian pasangan tersebut
memiliki anak dan mereka adalah yang pertama kali menjadi pengikut Kristus di
negeri itu. Berita tentang mujizat dan pengajaran-pengajaran Bunda Nina segera
menyebar dengan cepat ke seluruh negeri Iberia.
Pada
awalnya Raja Mirian dan Ratu Nana sangat tidak suka dengan Bunda Nina karena
mengajarkan tentang Tuhan yang tidak dikenal bangsa Iberia dan membuat banyak
rakyatnya menjadi pengikutnya. Namun meskipun begitu sang Raja tidak berlaku
kejam ataupun menghalangi pemberitaan Injil, akan tetapi Ratu sangat membenci
orang Kristen karena sangat membela Dewa-Dewa yang ia percayai. Begitu bencinya
sehingga kejiwaan sang Ratu mulai terganggu dan menjadi sosok wanita yang kejam
terhadap orang di sekelilingnya. Sampai suatu saat Ratu jatuh sakit dan makin
hari makin parah. Saat kondisi Ratu mulai sekarat, para pelayannya yang
sebagian telah menjadi Kristen memohon Bunda Nina untuk menyembuhkannya. Bunda
Nina menjawab jikalau Ratu ingin menjadi pulih dan baik kembali keadaannya baik
raga maupun jiwanya hendaklah datang ke gubuk beliau, dan menerima kesembuhan
oleh kekuatan Kristus. Hal tersebut sebagai ujian akan kerendahan hati sang
Ratu apakah dia mau menerima Yesus sebagai Juruselamat atau tidak, akhirnya
Ratu pun bersedia mendatangi gubuk Bunda Nina. Dalam gubuk Ratu berbaring,
sedangkan Bunda Nina berlutut sambil berdoa, lalu mengambil salib pemberian
Sang Theotokos dan menempelkannya kepada Ratu Nana di kepala, kaki, lalu kedua
bahu membentuk tanda salib, seketika itu sembuhlah Ratu Nana baik sakit raga
maupun jiwanya.
Sejak
saat itu Ratu menerima Kristus sebagai Juruselamat, dan sangat baik terhadap
Bunda Nina. Ratu menganggap beliau adalah penasehat spiritual dalam kerajaannya
bahkan layaknya teman. Ratu Nana juga belajar tentang Iman Kristen banyak dari
Penatua Abiathar (Abyatar) dan anaknya Sidonia. Abiathar pada mulanya adalah
seorang Imam Yahudi, putrinya lebih dulu mengikut Kristus, tidak lama setelah
itu Abiathar pun mengikuti jejak putrinya oleh karena bertemu dan mendengar
langsung pengajaran-pengajaran Bunda Nina mengenai ajaran-ajaran para Nabi.
Sejak Ratu Nana menjadi pengikut Kristus, maka Kristen menjadi kepercayaan
resmi dalam pemerintahan Kerajaan Iberia. Sementara Kerajaan Armenia yang
dipimpin Raja Tiridates III telah terlebih dulu menjadi Kerajaan Kristen
setelah Rajanya menjadi pengikut Kristus karena mendengar kabar mengenai banyak
hal yang dilakukan Bunda Nina termasuk apa yang terjadi di puncak gunung
tersebut saat Allah meluluhlantakkan altar Dewa Armazi, lagipula Raja Tiridates
jadi teringat pula dengan para biarawati yang dibunuhnya.
Di
sisi lain Bunda Nina mendapat secercah harapan untuk mengetahui dimana
keberadaan Jubah Yesus yang dicarinya. Abhiatar mantan Imam yahudi tersebut
bercerita tentang kakek buyutnya yang bernama Elioz. Saat Yesus hendak
disalibkan, Elioz menerima undangan dari Imam Tinggi Yahudi bernama Annas di
Yerusalem untuk menghadiri peristiwa penyaliban tersebut. Ibunda dari Elioz
yang masih keturunan Imam Elias menasehatinya agar tidak ikut bersekutu dengan
para pembenci Yesus yang akan dihukum mati tersebut, karena Yesus yang hendak
dijatuhi hukuman mati orang Yahudi itu adalah seorang Mesias yang diceritakan
para Nabi terdahulu. Ibunda Elioz meninggal pada malam paskah Yahudi itu
artinya malam hari saat Yesus telah mati disalib.Elioz yang menyaksikan
peristiwa penyaliban tersebut meminta Jubah Yesus yang ditanggalkan dan
dijadikan taruhan para prajurit Romawi pada salah seorang dari prajurit itu
yang memenangkan undi atas Jubah itu. Dibawanyalah pulang Jubah tersebut ke
kota tempat tinggalnya di Mtskheta. Sesampainya dirumah, adik perempuannya yang
bernama Sidonia menyambut sang kakak, saat melihat Jubah Yesus Sidonia
mengambilnya dan teringatlah dengan apa yang dikatakan Almarhum Ibundanya
tentang Yesus dan menceritakan pada kakaknya bahwa Ibunya telah meninggal. Sidonia
menangis dan menciumi jubah tersebut dan memeluknya sangat erat, saat itu juga
meninggallah Sidonia dengan mendekap erat Jubah tersebut dan tidak ada yang
bisa melepaskannya. Elioz mengubur adiknya bersama Jubah Kristus yang
didekapnya dengan diam-diam agar tidak seorangpun tahu kuburannya. Menurut
tradisi keluarga, tempat dikuburkannya tubuh Sidonia dan Jubah Yesus itu
sekarang adalah persis di bawah pohon Cedar di tengah taman Istana.
Sementara
itu Raja Mirian masih ragu untuk mau menjadi pengikut Kristus. Suatu ketika
datanglah seorang kerabat dari Raja Persia yang juga adalah penganut Zoroastri.
Beberapa waktu tinggal di Kerajaan Iberia kerabat Raja Persia tersebut jatuh
sakit sakit, seperti orang kena tenung dan kerasukan roh jahat. Raja Mirian sangat
takut, jangan-jangan Raja Persia akan murka jika kerabatnya mati dan mengira
Raja Mirian tidak mau mengurusnya dan mengupayakan kesembuhannya. Segera Raja
mengirim utusan untuk meminta bantuan Bunda Nina untuk menyembuhkannya. Orang
yang sakit itu diletakanlah di bawah pohon Cedar yang terletak di tengah-tengah
taman Istana Kerajaan, dihadapkannya orang itu kearah timur, disuruhnyalah
orang itu mengangkat tangan dan berkata tiga kali bahwa dia mau mengikut
Kristus dan menerimanya sebagai Juruselamat. Maka terguncanglah tubuh orang itu
sampai ke tanah lalu terdiam mayat dan roh jahat itu meninggalkannya, maka
sembuhlah orang itu.
Maka
ketakutan yang amat sangat melanda Raja Mirian. Hal ini karena kerabat Raja
Persia yang sembuh tersebut telah menjadi pengikut Kristus, dia berpikir pasti
Raja Persia yang penganut Zoroastri akan marah dan akan menimbulkan perang
besar. Dengan kondisi yang terbeban itu Raja lalu memutuskan untuk pergi
berburu bersama beberapa pengawal dan orang kepercayaannya untuk menenangkan
pikiran dan menyusun strategi. Ketika pada suatu ketika sang Raja sampai di
gunung Tkhoti, pikiran Raja yang kalut menyusun suatu rencana untuk
membersihkan kerajaannya dari orang-orang Kristen. Orang-orang disamping Raja
saat itu memanglah sangat benci kepada Orang Kristen karena membuat Dewa mereka
tidak laku, dan ditinggalkan, sehingga mereka memberikan ide-ide untuk
membersihkan negeri itu dari orang Kristen, serta menegakkan kembali patung
Dewa Armazi. Hal ini berarti akan ada pembantaian massal, oleh karena banyak
rakyatnya yang telah menjadi Kristen, termasuk Ratu. Akan tetapi Raja yang
sedang kacau pikirannya karena takut menghadapi perang dengan Raja Persia
tersebut akhirnya membulatkan tekad untuk melakukan niat jahatnya. Raja
berteriak kencang diatas gunung itu kepada Dewanya untuk membantu melaksanakan
niatnya.
Gunung
Tkhoti menjadi saksi bisu akan pengakuan Raja Mirian akan Tuhan Allah yang
benar, dan menjadi pengikut Kristus. Saat Raja berteriak kepada Dewanya itulah
tiba-tiba muncul awan badai persis seperti di puncak gunung tempat altar Dewa
Armazi dulu. Dari awan badai itu muncul kilat yang menyambar dengan dahsyatnya
dang sangat silau cahayanya sehingga Raja menjadi buta saat itu juga, sedangkan
guntur-gunturnya menyerakkan semua orang yang di sekitar Raja. Begitu dahsyat
awan badai itu menghajar rombongan Raja. Raja berteriak-teriak
memanggil-manggil Dewa-Dewanya, namun awan badai itu semakin dahsyat mengguntur
dan menggelegar. Setelah beberapa waktu Raja mulai lemah dan putus asa, sedangkan
Dewa-Dewa yang dia panggil tidak berbuat apa-apa, badai makin dahsyat. Dalam
keputusasaan Raja mulai menyadari bahwa itu adalah hukuman atas dirinya,
menyesallah dia dan memohon ampun kepada Tuhan yang disembah Bunda Nina.
Terucap satu permintaan dari mulut sang Raja " Ya Allah Nina, hilangkanlah
kegelapan di mataku, maka aku akan mengakuiMU dan menyembahMU". Saat itu
juga perlahan-lahan mata Raja mulai melihat cahaya dan makin lama makin
terlihat jelas sekelilingnya dan badai pun reda. Mata sang Raja pun pulih
seperti sedia kala. Raja pun menghadap ke arah Timur, mengangkat tangannya ke
langit, dan menyembah Allah yang disembah Bunda Nina dengan berurai air mata.
Di
gunung itulah kelak Raja Mirian membangun sebuah Gereja untuk mengenang
kejadian ini.
Dalam
perjalanan pulang menuju istananya, di sepanjang jalan sang Raja selalu
berteriak kepada rakyatnya untuk menyembah Tuhan yang disembah Bunda Nina.
Sebelum ke istana mampirlah Raja menuju gubuk Bunda Nina, di hadapan Bunda Nina
Raja tersungkur dan menangis sejadi-jadinya sambil berkata "Ya Ibu,
ajarilah aku dan buatlah aku layak untuk menyembah Allahmu". Melihat
ketulusan hati Raja menangis pulalah Bunda Nina bersama-sama sang Raja oleh
karena begitu besarnya sukacita beliau. Sejak saat itulah Bunda Nina dianggap
oleh rakyat Georgia sebagai Bunda mereka, Orang Kudus yang telah membawa
pencerahan bathin bagi negeri mereka. Tradisi Gereja Orthodox Armenia
menganggap beliau setara dengan para Rasul.
Bunda
Nina dimakamkan di Bodbe di wilayah timur negeri itu, hal tersebut sesuai
pesannya untuk dimakamkan ditempat dimana beliau menghembuskan nafas
terakhirnya. Selama sisa hidupnya beliau tak henti-hentinya mengunjungi seluruh
pelosok negeri itu untuk mengabarkan Injil Kristus serta menyembuhkan
orang-orang sakit maupun kerasukan, seluruh rakyat beserta Rajanya sangat
mencintai beliau. Di tempat Bunda Nina dimakamkan dibangunlah suatu biara oleh
Raja untuk mengenang jasa Bunda Nina terhadap negeri itu. Bunda Nina meninggal
sekitar tahun 332 tanggal 14 Januari menurut Kalender Julian yang dipakai
Gereja Orthodox.
Diperingati
setiap tanggal 14 Januari Kalender Julian