St. Theodosius Agung |
Janasuci
Theodosius Agung
Janasuci
Theodosius Agung hidup sekitar antara tahun 423-529. Ayahnya bernama
Proheresius dan ibunya bernama Eulogia, keduanya adalah orang yang takut akan
Tuhan. Beliau terpanggil untuk menjalani kehidupan asketis sejak masa mudanya,
dan seorang Janasuci yang bernama Simeon Stylite menerawang dan memberitahukan
tentang masa depan beliau terutama pelayanan sebagai seorang Janasuci ketika
mereka bertemu di tanah suci. Beliau juga adalah salah satu Janasuci yang
membela Iman Orthodox dari ajaran bidat
Eutychius tentang monofisitisme. Beliau juga adalah seorang pelaku
mujizat yang banyak menolong orang-orang yang hidup di masanya.
Saat
beliau beranjak menjadi seorang pemuda, beliau merindukan kehidupan yang
asketis dalam kesunyian, meninggalkan segala hasrat dan ambisi duniawi. Maka
berkelanalah beliau untuk berziarah ke tanah suci dan tinggallah beliau di
sebuah gua di wilayah Palestina dimana menurut tradisi gua tersebut adalah
tempat tiga orang majus bermalam setelah mereka menghadap dan memberi
persembahan kepada bayi Yesus. Beliau tinggal di gua tersebut selama 30 tahun
dengan cara hidup asketis yang disiplin dan terus menerus. Selama 30 tahun pula
beliau tidak pernah merasakan makan roti, dan hanya makan kurma, karob (sejenis
trembesi), dan sayuran serta kacang yang tumbuh liar. Seiring berjalan waktu
banyak orang-orang yang mendatangi tempat beliau dan meminta petunjuk untuk
bisa hidup asketik seperti yang beliau lakukan.
Semakin
lama pun semakin banyak murid beliau dan gua tersebut sudah tidak bisa
menampungnya. Maka Theodosius berkelana dengan membawa pedupaan beserta dupa
dan arangnya, semuanya dalam keadaan tidak menyala, dibawanya semua itu sambil
berjalan dan berdoa. Di suatu tempat tiba-tiba pedupaan tersebut menyala dengan
sendirinya, arang dan dupa merah oleh nyala, dan asap harum pun menyebar. Di
tempat itulah kelak dibangun biara untuk menampung para biarawan yang menjadi
murid-murid beliau, letaknya kira-kira di dekat Betlehem. Bahasa yang digunakan
sehari-hari dalam biara tersebut adalah bahasa Yunani, Armenia, dan Georgia,
namun secara umum dalam liturgis ataupun pelayanan lain digunakan bahasa
Yunani. Biara tersebut memiliki peranan yang besar bagi masyarakat sekitar
maupun bagi para pengembara yang membutuhkan bantuan.
Suatu
ketika terjadilah kelaparan dahsyat di seluruh wilayah Palestina dan
sekitarnya. Banyak warga dan masyarakat Palestina dan sekitarnya
berbondong-bondong menuju biara untuk mendapatkan makanan agar bisa bertahan
hidup. Para biarawan tidak mau menerima mereka dan menutup rapat gerbang biara
karena khawatir persediaan makanan tidak akan cukup untuk bertahan hidup bahkan
untuk semusim sekalipun. Akan tetapi Theodosius menyuruh para murid-muridnya
tersebut membuka gerbang dan menerima mereka untuk tinggal di biara selama yang
diperlukan. Para biarawan dengan sedih mengungkapkan kekhawatiran mereka akan
persediaan roti yang tidak akan cukup untuk bertahan hidup apalagi untuk
memberi makan orang-orang tersebut. Maka sang Janasuci Theodosius menyuruh
beberapa murid ke tempat persediaan roti di dalam biara dan mengambilnya untuk
dibagi-bagikan kepada orang-orang tersebut, sambil murid-muridnya berjalan
menuju ruang tempat persediaan roti beliau berdoa. Saat murid-muridnya membuka
pintu ruang persediaan roti terkejutlah mereka bahwa ruangan tersebut penuh
dengan roti. Kejadian ini terjadi berulang kali sampai masa kelaparan berakhir,
dan musim panen telah cukup untuk penduduk dan masyarakat sekitar bertahan
hidup. Dengan doa-doa beliau pula belalang-belalang pelahap yang menyerang
ladang penduduk yang mengakibatkan gagal panen semuanya mati.
Pada
masa itu wilayah Palestina ada dalam kekuasaan Byzantium di bawah pemerintahan
Kaisar Anastasius (Flavius Anastasius Dicorus Augustus, 431-518). Di lain sisi
saat itu juga muncul ajaran Eutychius dan Severus tentang monofisit. Celakanya
adalah sang Kaisar menerima pengajaran dari Eutychius tersebut sehingga
muncullah babak penganiayaan terhadap Gereja Orthodox di masa itu. Bapak
Theodosius dengan tekad bulat meski dengan resiko apapun tetap kokoh memegang
ajaran Orthodox sesuai dengan hasil empat konsili sebelumnya, dengan demikian
biara beliau tetap di bawah ajaran Orthodox. Ketika penganiayaan makin
menjadi-jadi dan Gereja mulai dikuasai pengikut monofisit, beliau tidak tinggal
diam. Beliau meninggalkan biara dan menuju Yerusalem, di Gereja di tempat yang
agak tinggi beliau berteriak "Barangsiapa yang tidak menerima keempat
konsili, biarlah dia dianathema". Maka oleh karena perbuatan beliau,
dijebloskanlah beliau di penjara. Sekitar tahun 518 setelah Kaisar Anastasius
meninggal beliau baru dibebaskan dari penjara.
Beliau
meninggal di usia yang sangat tua yaitu 105 tahun. Sebelum meninggal beliau
sempat mengundang tiga Uskup datang ke biara beliau, serta memberitahukan
beberapa hari lagi beliau akan berpulang kepada Allah, dan tiga hari setelahnya
meninggallah beliau. Selama hidup beliau adalah pembela Iman Orthodox dan
pelaku mujizat yang sangat dikagumi dan disayangi oleh banyak orang. Banyak
orang yang telah disembuhkan dari penyakit, menyelamatkan orang-orang terluka
dari kematian, memberi petunjuk untuk menemukan orang-orang hilang ataupun
tersesat, dan banyak keajaiban-keajaiban yang beliau perbuat yang telah
menyelamatkan banyak orang. Beliau dimakamkan di gua di mana pertama kali
beliau memulai kehidupan asketisnya. Biara yang beliau dirikan dikenal dengan
nama Biara Santo Theodosius (Monastery of Saint Theodosius the Cenobiarch).
Diperingati
setiap tanggal 11 Januari Kalender Julian